Saturday, April 11, 2015

Rukun dan Syarat Pernikahan dalam Islam

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Banyak kita lihat sekarang ini kaum muslimin belum begitu paham tentang Rukun-rukun pernikahan dan Syarat-syarat pernikahan. Kaum muslimin hanya mengetahui sebagian umum saja tanpa memahami secara pasti dan jelas bagaimana rukun dan syarat pernikahan yang sesuai dengan syariat islam.
Dan penulis menganggap bahwa realita kehidupan kaum muslimin sekarang ini yang tidak memahami secara kuat dan jelas tenta rukundan syarat pernikahan. Oleh sebab itu pemakalah berupaya menyajikan makalah yang membahas tentang rukun dan syarat pernikahan, agar pemakalah khususnya dan pembaca umumnya mengetahui secara jelas dan pasti dan tidak menyimpang dari syariat islam.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah adalah:
1.             Apa saja rukun pernikahan ?
2.             Apa saja syarat-syarat pernikahan ?

3. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1.             Untuk mengetahui rukun pernikahan.
2.             Untuk mengetahui syarat-syarat pernikahan.

PEMBAHASAN
1.    Rukun Pernikahan
Rukunركن   (jamaknya اركان) dapat diterjemahkan seperti "tiang" dan adalah satu penting bagian dari hakikat sah dari sesuatu.   Tanpa ini, itu hakikat sah tidak berada.
Rukun adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu tidak akan ada tanpanya. Definisi lain tentang rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan terdiri atas :[1]
a.              Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.
b.             Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang atau wakilnya yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :
اَيُّمَا اِمْرَاَةٍ نِكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيَّحَا فَنِكَا حُحَا بَا طِلٌ   اخرجه الاربعة الا للنسائ

Artinya : “Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahan batal.”
Dalam hadist lain Nabi SAW bersabda :
لاَ تُزَوِّجِ اْ لمَرْاَةَ وَلاَ تُزَوِّجِ اْلمَرْاَةُ نَفْسَحَا   رواه ا بن ماجه والدارقطنِى
Artinya : “Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.”
c.              Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut.
d.             Sighat akad nikah yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Seluruh ahli fiqih sepakat bahwa pernikahan dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab kabul dari kedua belah pihak atau wakil dari keduanya. Nikah tidak sah hanya dengan sekedar kerelaan kedua belah pihak. Di sinilah nikah berbeda dengan zina, karena biasanya dalam zina juga terdapat kerelaan dari kedua belah pihak.[2]
Seluruh ahli fiqih sepakat tentang sahnya akad, yang ijabnya menggunakan kata “saya kawinkan” atau “saya nikahkan” yang diucapkan wanita atau wakilnya, dan kata “saya terima” atau “saya setuju” yang diucapkan pria atau wakilnya.
2.    Syarat Pernikahan
Syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Adapula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dalam unsur rukun.[3] Jadi yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai laki-laki dan perempuan , wali, saksi dan ijab qabul.
1.            Syarat-syarat pengantin pria :
Syari’at islam menentukan beberapa syarat yang harus di penuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu :
a.             Calon suami beragama islam
b.            Terang (jelas) bahwa calon suami itu laki-laki, hal ini disyaratkan agar pelaksanaan hukum islam itu lancar dan tidak mengalami hambatan.Hukum islam ditetapkan untuk kemaslahatan umat, dan hal perikatan hukum islam menghendaki adanya pelaksanaan perolehan hak dan kewajiban berjalan lancar. Oleh sebab itu perlu penegasan bahwa calon pengantin laki-laki benar-benar laki-laki, agar dalam berumah tangga dapat memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami dengan baik.
c.             Bukan mahram dari calon istri. Persyaratan ini sangat perlu untuk melandasi jangan sampai perkawinan itu merupakan pelanggaran terhadap hukum. Kalau laki-laki ada hubungan mahram , maka melaksanakannya merupakan dosa dan hukumnya tidak sah atau haram
d.            Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan. Karena perbuatan jika ada keterpaksaan maka hasilnyan pun tidak baik, maka perkawinan merupakan perbuatan hukum , harus dijalankan dengan kerelaan pihak calon suami.
e.             Tidak sedang menjalankan ihram, karena tidak boleh melakukan perkawinan juga tidak boleh mengawinkan orang lain, bahkan melamar juga tidak boleh. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw menurut riwayat Imam Muslim dari sahabat Usman Bin Affan :
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يَحْتُبُ  رواه مسلم عن عثمان ابن عقا ن
“Tidak boleh kawin orang yang sedang ihram, dan tidak boleh mengawinkan serta tidak boleh melamar
2.             Syarat-syarat pengantin wanita
a.              Beragama islam
b.             Jelas bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci). Karena perkawinan itu perjanjian antara wanita dan pria, maka perlu kejelasan yang melakukan akad tersebut.
c.              Tidak ada halangan syar’i, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah
d.             Atas kemauan sendiri (tidak dipaksa), artinya mempunyai kebebasan untuk menentukan sikap. Paksaan disini adalah paksaan dengan ancaman yang mengakibatkan terancam keselamatan jiwa.
e.              Tidak dalam keadaan ihram 
3.            Syarat-syarat wali
a.              Beragama islam
b.             Seorang laki-laki
c.              Baligh
d.             Berakal dan adil (tidak fasik), maksudnya wali tidak melakukan perbuatan maksiat, tidak fasik, ia orang baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat yang mungkar
e.              Tidak sedang ihram haji
Perkawinan tanpa wali tidak sah, berdasarkan sabda Nabi Saw :
لاَ نِكَا حَ اِلاَّ بِوَلِيِّ  رواه ا لخمسائ
“Tidak sah perkawinan tanpa wali”
Dan yang wali disini adalah yang utama ayahnya, kemudian kakek (ayah dari ayah), kemudian saudara laki-laki seayah seibu, kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, kemudian paman (saudara laki-laki ayah), kemudian anak laki-laki dari paman tersebut. Tertib ini wajib dijaga dengan baik[4].
Bila sudah benar-benar tidak ditemui seorang kerabat atau yang dimaksud adalah wali di atas maka alternatif berdasarkan hadis Nabi adalah pemerintah atau hakim.
وعن سليمان ابن موسى عن الزهرى عن عروة عن عائشة رضى الله عنها ان النبى صلى الله عليه وسلم قال : ايما امراءة نكحت بغيراذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فاءن دخل بها فلها المهر بمااستحلى من فرجها فاءن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له.
Wanita manapun yang kawin tanpa seizing walinya, maka pernikahannya batal, pernikahannya batal. Bila (telah kawin dengan syah dan) telah disetubuhi, maka ia berhak menerima maskawin (mahar) karena ia telah dinikmati kemaluannya dengan halal. Namun bila terjadi pertengkaran diantara para wali, maka pemerintah yang menjadi wali yang tidak mempunyai wali.
Wali dapat di pindah oleh hakim bila: Terjadi pertentangan antar wali dan Jika tidak adanya wali, ketidak adanya di sini  yang dimaksud adalah benar-benar tidak ada satu kerabat pun, atau karena jauhnya tempat sang wali sedangkan wanita sudah mendapatkan suami yang kufu.
4.             Syarat-syarat Saksi
a.              Beragama Islam
b.             Laki-laki
c.              Baligh
d.             Berakal dan adil
e.              Dapat mendengar dan melihat
f.              Tidak dipaksa
g.             Tidak sedang ihram
h.             Memahami bahasa yang dipergunakan  untuk ijab qabul.

5.            Syarat –syarat ijab qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan aqad nikah. Ijab dilakukan pihak wali mempelai perempuan atau walinya. Sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
Ijab dan qabul dilakukan di dalam satu majlis, dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan aqad, dan dapat di dengar kedua belah  pihak dan 2 orang saksi. Sedangkan hanafi membolehkan jarak antara ijab dan qabul asal masih di dalam satu majlis dan tidak ada hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud aqad.
Dan lafadz yang digunakan untuk aqad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahan nya adalah kawin atau nikah, sebab kalimat itu terdapat dalam kitab Allah dan sunnah.
                                       
Perkawinan wajib dengan aqad nikah dan dengan lafadz atau kalimat tertentu , berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw :
اِتَّقُوْااللهَ النِّسَاّءِ فَاِ نَّكُمْ اَخَذْ تُمًوْحُنَّ وَا سْتَحْلَيْتُمْ قُرُجَحُنَّ بِكَلِمَةِ ا للهِ  رواه مسلم
Takutlah engkau sekalian kepada Allah dalam hal orang- orang perempuan, sesungguhnya engkau sekalian mengambil mereka dan membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah”
                            
PENUTUP
1.             Kesimpulan
Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan terdiri atas : Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan. Adanya mempelai pria dan wanita, wali dari pihak calon pengantin wanita, dua orang saksi, shighat aqad nikah
Syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya.
Syarat-syarat pengantin pria yaitu : Calon suami beragama islam, Terang (jelas) bahwa calon suami itu laki-laki, Bukan mahram dari calon istri,  Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan,  Tidak sedang menjalankan ihram Syarat-syarat pengantin wanita yaitu : Beragama islam , Jelas bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci). Tidak ada halangan syar’i, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah, Atas kemauan sendiri (tidak dipaksa), Tidak dalam keadaan ihram. Syarat-syarat wali yaitu : Beragama islam, Seorang laki-laki, Baligh, Berakal dan adil (tidak fasik), Tidak sedang ihram haji. Syarat-syarat Saksi yaitu: Beragama Islam, Laki-laki, Baligh, Berakal dan adil, Dapat mendengar dan melihat, Tidak dipaksa, Tidak sedang ihram, Memahami bahasa yang dipergunakan  untuk ijab qabul. Syarat –syarat ijab qabul yaitu : Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan aqad nikah. Ijab dilakukan pihak wali mempelai perempuan atau walinya. Sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. Dan lafadz yang digunakan  adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahan nya adalah kawin atau nikah, sebab kalimat itu terdapat dalam kitab Allah dan sunnah



Daftar Pustaka

Abdurrahman,2005,  Fiqih Munakahat,  Jakarta : Kencana
Muhammad Ibrahim, 2007, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Jakarta : Cahaya
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di  Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Group
Dr. H. Abdulrahman, 2006, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana Prenada Group



[1] Dr. H. Abdulrahman, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana Prenada Group, 2006,h. 46
[2] Muhammad Ibrahim, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Jakarta : Cahaya, 2007, h.324
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di  Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Group,    . h. 59
[4]Abdurrahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2006) hl 63

No comments: