Saturday, April 11, 2015

Pentingnya Pendidikan Karakter

BAB I
PENDAHULUAN
Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimilikinya. Hanya bangsa yang memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu menjadi bangsa yang berkarakter adalah impian bangsa Indonesia.
Meskipun sudah bukan hal yang baru lagi, namun harus diakui bahwa fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling strategis dan membawa pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman yang berpotensi untuk menggulung tata nilai dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan tata nilai yang popular di negara asing.
Di era globalisasi yang tidak mampu menahan derasnya arus informasi dari dunia manapun, membuat generasi muda dengan mudah mengetahui dan menyerap informasi dan budaya dari negara lain, demikian sebaliknya negara manapun dapat dengan mudah mendapatkan segala bentuk informasi dan budaya dari negara kita, disinilah karakter bangsa diperlukan karena apabila karakter bangsa tidak kuat maka globalisasi akan melindas generasi muda kita. Generasi muda diharapkan dapat berperan menghadapi berbagai macam permasalahan dan persaingan di era globalisasi yang semakin ketat sekarang ini.
Untuk membentengi generasi muda khususnya pelajar agar tidak terlindas oleh arus globalisasi maka diperlukan pembangunan karakter yang kuat. Membangun karakter tidaklah segampang membalikkan telapak tangan, meskipun tidak mudah tetapi membangun karakter sangat penting, apalagi bagi generasi muda yang merupakan komponen bangsa Indonesia yang paling rentan dalam menghadapi terpaan arus globalisasi. Karena bagaimanapun juga generasi muda kita adalah cerminan karakter bangsa Indonesia. Apabila generasi muda kita tidak menjunjung tinggi nilai dan norma menurut falsafah Pancasila maka dapat dikatakan karakter bangsa kita memudar dan hilang, bila karakter suatu bangsa hilang maka tidak ada lagi nama bangsa Indonesia di peta dunia.
Dalam menghadapi era globalisasi, pendidikan sangat diperlukan untuk membangun karakter bangsa. Baik itu dari pendidikan formal, informal maupun non formal. Semua pendidikan intinya adalah membawa perubahan karakter menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Sehubungan dengan hal tersebut, Karakter bangsa masih dapat diselamatkan dan ditumbuh kembangkan melalui pembelajaran. Proses pembelajaran membawa siswa kepada sosok generasi bangsa yang tidak sekedar memiliki pengetahuan, tetapi juga memiliki moral yang mencerminkan nilai-nilai luhur yang tertanam dalam benak siswa. Seiring denga era globalisasi dan kemajuan dunia informasi, bangsa indonesia tengah dilanda krisis nilai-nilai luhur yang menyebabkan martabat bangsa Indonesia dinilai rendah oleh bangsa lain. Oleh karena itu, karakter bangsa Indonesia saat ini perlu dibangun kembali.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Pendidikan Karakter
Di Indonesia, pendidikan karakter telah dibahas secara tuntas oleh Ki Hadjar Dewantara dalam kedua karya monumentalnya, Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan karakter yang sekarang didengung-dengungkan oleh Kemendiknas sebenarnya hanya istilah lain dari Pendidikan Budi Pekerti dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Begitu agungnya pemikiran Ki Hadjar Dewantara,Malaysia telah melahirkan tujuh Doktor yang mengkaji pemikirannya. Ironisnya, Indonesia justru baru melahirkan satu doctor yang mengkaji Ki Hadjar Dewantara. Lebih dari itu, model pendidikan karakter yang dicanangkan Kemendiknas justru berkiblat pada Thomas Lickona, dengan alasan bahwa Lickona merupakan tokoh pertama yang mengenalkan pendidikan karakter.
Diskursus pendidikan karakter mengalami perdebatan panjang yang tidak jelas ujung pangkalnya. Misalnya, apakah orang yang dilahirkan berkarakter buruk dapat diubah melalui pendidikan sehingga menjadi baik? Apakah jika seseorang telah membawa karakter baik tidak perlu dididik akan tetap baik sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun?
Sebaliknya, apakah orang yang dilahirkan berkarakter buruk akan tetap buruk meskipun diproses dalam wadah pendidikan? Jika demikian, apakah pendidikan tidak berpengaruh dalam pembentukan karakter seseorang?
Perdebatan di atas sebenarnya telah diselesaikan oleh tiga jawaban filosofis dengan corak yang berbeda. Jawaban pertama, dikemukakan oleh John Locke dengan teori Tabula Rasa melalui teorinya John Locke mengatakan bahwa setiap anak dilahirkan seperti kertas putih yang dapat dilukis dengan karakter baik atau buruk. Jawaban Kedua, dikemukakan oleh Lombrosso dan Schopenhauer dengan teori Nativisme. Melalui teorinya tersebut mereka menyatakan bahwa setiap karakter seseorang tidak dapat berubah karena bersifat genetis.  Jawaban ketiga, dikemukakan oleh Wiliam Stren dengan teori Konvergensi. Melalui teorinya ini ia mengemukakan bahwa karakter seseorang dipengaruhi oleh bawaan atau genetika dan lingkungan atau pendidikan.[1]
Terlepas dari berbagai jawaban filosofis di atas, pendidikan karakter di Indonesia mengusung semangat baru dengan optimisme yang penuh untuk membangun karakter bangsa yang bermartabat. Oleh karena itu, konsep pendidikan karakter harus mengambil posisi yang jelas bahwa karakteristik seseorang dapat dibentuk melalui pendidikan.

B.     Pengertian  Pendidikan Karakter
Secara etimologi, kata karakter berasal dari bahasa Yunani Eharassein yang berarti “to engrave”. Kata “to engrave” itu sendiri dapat diterjemahkan menjadi mengukir, melukis, memahatkan atau menggoreskan. Arti ini sama dengan istilah karakter dalam bahasa inggris (character) yang juga berarti mengukir, melukis, memahatkan atau menggoreskan.
Berbeda dengan bahasa Inggris, dalam bahasa Indonesia karakter diartikan sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Arti karakter secara kebahasaan  yang lain adalah huruf, angka, ruang atau symbol khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik. Artinya orang yang berkarakter adalah orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat atau berwatak tertentu dan watak tersebut yang membedakan dirinya dengan orang lain.[2]
Secara terminology, menurut Thomas Lickona pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Aristoteles berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Membuat peserta didik berkarakter adalah tugas pendidikan, yang esensinya adalah membangun manusia seutuhnya yaitu manusia yang baik dan berkarakter. Pengertian baik dan berkarakter mengacu pada norma yang dianut, yaitu nilai-nilai luhur Pancasila. Seluruh butir-butir pancasila sepenuhnya terintegrasi ke dalam harkat dan martabat manusia (HMM). HMM terdiri atas tiga komponen, yaitu hakikat manusia, pancadaya  kemanusiaan dan dimensi kemanusiaan.[3]
Menurut Ramli, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah untuk membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia itu sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.[4]
Sedangkan Russel Williams, menggambarkan karakter laksana “otot” yang akan menjadi lembek jika tidak dilatih. Dengan latihan maka “otot-otot” karakter akan menjadi kuat dan akan terwujud menjadi keniasaan. Orang yang berkarakter tidak melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan hukuman, tetapi karena mencintai kebaikan. Karena cinta itulah maka muncul keinginan untuk berbuat baik.

C.    Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter saat ini merupakan topic yang banyak dibicarakan di kalangan pendidik. Pendidikan karakter diyakini sebagai aspek penting dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDA), karena turut menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter masyarakat yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, karena usia dini merupakan masa “emas” namun “kritis” bagi pembentukan karakter seseorang.
Terkait dengan perlunya pendidikan karakter, adalah Thomas Lickano (seorang profesor pendidikan dari Cortland University) mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda zaman yang kini terjadi, tetapi harus diwaspadai karena dapat membawa bangsa menuju jurang kehancuran. 10 tanda itu adalah:
1.      Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja/masyarakat.
2.      Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk/tidak baku.
3.      Pengaruh per-group (geng) dalam tindak kekerasan yang menguat.
4.      Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alcohol dan seks bebas.
5.      Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk..
6.      Menurunnya etos kerja.
7.      Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru.
8.      Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok.
9.      Membudayanya kebohongan atau ketidakjujuran.
10.  Adanya rasa saling curiga dan kebencian
Berkaitan dengan hal tersebut maka pemerintah Indonesia kini sangat gencar mensosialisasikan pendidikan karakter. Bahkan Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Menurut Mendiknas, Muhammad Nuh ketika membuka pertemuan Pimpinan Pascasarjana, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se Indonesia di Auditorium Unimed, bahwa pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini maka tidak mudah untuk mengubah karakter seseorang. Mendiknas juga berharap, pendidikan karakter yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan dapat membangun kepribadian bangsa.[5]
Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan banyak yang menyebut pendidikan telah “gagal” karena banyak lulusan lembaga pendidikan Indonesia termasuk sarjana yang pandai dan mahir dalam menjawab ujian dan berotak cerdas tetapi tidak memiliki mental yang kuat bahkan mereka cenderung amoral.
Bahkan tak jarang kita menemukan, para pakar di bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil anak-anak diajarkan menghafal tentang sifat-sifat jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dll. Namun semua itu hanya sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari karena diduga akan keluar dalam soal ujian.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan, pembiasaan berbuat baik, berlaku jujur, malu berbuat curang, malu bersikap malas, dll. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
Di sinilh bisa kita pahami, mengapa ada kesenjangan antara praktik pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, professional dan berkarakter sebagaimana yang diinginkan dalam tujuan pendidikan Nasional.
Hamka adalah seorang ilmuan muslim yang sangat terkenal dalam salah satu tulisannya memberikan gambaran kapada kita tentang sosok individu yang pandai tapi tidak memilii pribadi (karakter) yang unggul”
“Banyak guru, dokter, hakim dan insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba-tiba dalam masyarakat menjadi “mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mempunyai cita-cita, lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat, dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya dan bukan menimbulkan keberaniannya untuk memasuki lapangan hidup.”
Maka tidaklah heran jika banyak para ilmuan yang percaya bahwa karakter suatu bangsa akan sangat terkait dengan prestasi yang diraih oleh bangsa itu dalam berbagai bidang kehidupan. Di dalam bukunya Ratna Megawangi mengatakan bahwa kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlaq melalui proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik. Sehingga akhlak mulia dapat terukir menjadi habit of the mind, heart and hands.[6]
            Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
            Pendidikan karakter berfungsi: Pertama, mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik dan berperilaku baik. Kedua, memperkuat dan mambangun perilaku bangsa yang multikultur. Ketiga, meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
            Selain itu, pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
D.    Penilaian Karakter
Penilaian karakter dimaksudkan untuk mendeteksi karakter yang terbentuk dalam diri peserta didik melalui pembelajaran yang telah diikutiya. Pembentukan karakter memang tidak bisa sim salabim atau terbentuk dalam waktu singkat, tapi indicator perilaku dapat dideteksi secara dini oleh setiap guru.[7] Adapun contoh format penilaian karakter dapat dilihat sebagai berikut:
PENILAIAN KARAKTER PESERTA DIDIK
Jenis karakter
Indikator Perilaku
Bertanggungjawab
a.       Melaksanakan kewajiban
b.      Melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan
c.       Menaati tata tertib sekolah
d.      Memelihara fasilitas sekolah
e.       Menjaga kebersihan lingkungan



[1] Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 3-4
[2] Ibid. 5
[3] Anas Salahudin, Irwanto Alkrienciehie, Pedidikan Karakter, (Bandung: Setia Pustaka, 2013), h. 43
[4] Mahmud, Pendidikan Karakter, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 24
[5] Ibid. 28
[6] Ibid. Mahmud, h. 30
[7] Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h. 146-148

No comments: