Saturday, April 11, 2015

Prinsip-Prinsip Umum Ekonomi Islam

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Mendefinisikan makna ekonomi (economic) tidak terlepas bagaimana kita melakukan aktivitas transaksi guna memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri, mensejahterakan keluarga dan membantu orang lain yang membutuhkan baik berupa pangan, sandang dan papan. Imam Al-Ghazali berpendapat apabila tidak terpenuhi ketiga alasan ini dapat "dipersalahkan" menurut agama. Konteks ini menganjurkan untuk kita seimbang dalam melaksanakan perintah Allah SWT dari sisi ibadah (hablumminallah) dan juga sisi muamalah (hablum minannas).
Dalam mempertahankan (survive) hidup seseorang diberi keleluasaan dalam mengambil sikap guna memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Keleluasaan atau kebebasan merupakan fitrah sebagai manusia dalam mengatur dirinya dalam memenuhi kebutuhan yang ada. Manusia dapat memaksimalkan dalam rangka memanfaatkan sumber daya yang ada, bila semua memiliki kesadaran yang sama maka manusia beramai-ramai melakukan usaha apapun yang lebih sistematis, efisien dan efektif dalam rangka mengelola sumber daya yang terbatas.
Masalah ekonomi merupakan masalah yang universal, karenanya seluruh dunia menaruh perhatian yang besar terhadap permasalahan ekonomi.  Dalam realita kehidupan, manusia berusaha mengerahkan tenaga dan juga pikirannya untuk memenuhi berbagai keperluan hidupnya, seperti sandang, pangan dan tempat tinggal. Pengerahan tenaga dan pikiran ini penting untuk menyempurnakan kehidupannya sebagai individu maupun sebagai seorang anggota suatu masyarakat. Segala kegiatan yang bersangkutan dengan usaha yang bertujuan untuk memenuhi keperluan ini dinamakan ekonomi.
Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis, tidak dari sudut pandang sosialis, dan juga tidak merupakan gabungan dari keduanya. Islam memberikan perlindungan hak kepemilikan individu, sedangkan untuk kepentingan masyarakat didukung dan diperkuat, dengan tetap menjaga keseimbangan kepentingan publik dan individu serta menjaga moralitas. Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta.
Islam memperbolehkan seseorang  mencari kekayaan sebanyak mungkin. Islam menghendaki adanya persamaan, tetapi tidak menghendaki penyamarataan. Kegiatan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu banyak harta dikuasai pribadi. Di dalam bermuamalah, Islam menganjurkan untuk mengatur muamalah di antara sesama manusia atas dasar amanah, jujur, adil, dan memberikan kemerdekaan bermuamalah serta jelas-jelas bebas dari unsur riba. Islam melarang terjadinya pengingkaran dan pelanggaran larangan-larangan dan menganjurkan untuk memenuhi janji serta menunaikan amanat.
Ekonomi Islam bukan saja mempelajari individual sosial tetapi juga tanggung jawab moral kepada sang pencipta sehingga tidak hanya memberikan keuntungan di dunia melainkan keuntungan di akhirat juga. Untuk menjamin keselarasan dan keharmonisan dalam dunia perekonomian guna dapat mengatur hubungan antara manusia secara keseluruhan,[1] maka diperlukan rancang bangun sebuah sistem yang utuh yakni prinsip ekonomi yang bersumber al-qur’an dan al-hadits, sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan teknis terdapat dalam bentuk Ijma, Ijtihad dan Qiyas.
Oleh karena begitu pentingnya persoalan ekonomi ini, maka kita sebagai umat muslim khususnya hendaklah mengetahui apa saja prinsip yang terkandung dalam system ekonomi islam itu. Agar kita dapat menjalankan kehidupan ini sesuai dengan syari’at yang telah Allah tetapkan.

PEMBAHASAN
PRINSIP-PRINSIP UMUM EKONOMI ISLAM

A.   Defenisi Ekonomi Islam
Pengalaman sistem yang dianut oleh negara Indonesia memiliki dua kebijakan ekonomi; pertama, masa orde lama (rezim Soekarno) dimana ekonomi tertutup yang berorietasi Sosialis, dan kedua, masa orde baru (rezim Soeharto) dengan pendekatan ekonomi terbuka yang berorientasi sama dengan kapitalis. Keduanya tidak bisa dijalankan secara baik sehingga tidak dapat memberikan solusi (solution) perbaikan sistem yang membawa kemaslahatan untuk umat.[2]
Maka pantas sebagai salah satu sistem ekonomi yang utuh muncul kepermukaan walaupun sistem ini telah dilupakan oleh banyak orang, sehingga pada saat permasalahan global menghantui kita, pemikir-pemikir kontemporer dalam bidang ekonomi mencari solusi guna kemaslahatan umat didunia. Salah satu sistem yang utuh tersebut yakni Ekonomi Islam.
Adapun Universitas yang pertama kali mengajarkan ekonomi Islam serta menjadiakannya mata kuliah adalah Universtas Al-Azhar pada tahun 1961 M/1381 H pada dua jurusan, yaitu Syariah Islamiyah dan Tijaroh. Kemudian di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah pada jurusan Ekonomi Islam, juga pada jurusan Syariah di Makah Mukaromah pada tahun 1964 M/ 1384 H. Bahkan salah satu hasil keputusan Muktamar Ulama Muslimin yang diadakan di Kairo tahun 1972 M/ 1392 H memutuskan akan pentingnya pengajaran ilmu ekonomi Islam pada setiap Univeritas yang terdapat pada Negara Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya.[3]
Menurut Muhammad Abdul Mannan, “Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah- masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam”.[4]
Menurut M.M. Metwally, “Ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al Quran, Hadis, Ijma dan Qiyas”.[5]
Menurut Hasanuzzaman,”Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat”.[6]
Prof. M. Abdul Manan, MA, Ph.D, memberikan definisi ilmu ekonomi Islam, yaitu ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.[7] Ilmu ekonomi Islam bukan hanya disebut ilmu pengetahuan positif (positive science) atau ilmu pengetahuan normatif (normative science) saja, melainkan kedua mempunyai hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan Sehingga kita tidak menginjak daerah sekulerisme tersebut.
Sedangkan menurut Mohammad Daud Ali, ekonomi islam adalah kumpulan dasar-dasar ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an as-Sunnah yang ada hubungannya dengan urusan ekonomi.[8]
Namun demikian Ekonomi Islam tidak lepas dari terpaan kritik yang dilakukan oleh sejumlah ekonom. Pada umumnya kritikan tersebut dikelompokkan oleh Arif, seperti yang dikutip oleh M.Husein Sawit, menjadi tiga kelompok besar. Pertama, aliran yang mengatakan Ekonomi Islam merupakan penyesuaian sistem kapitalis atau disebut "the Adjusted Capitalism School". Kedua, disebut dengan kelompok konvensional atau "the Conventional School”. Ketiga adalah kelompok perbedaan paham atau "the Sectarian Diversity School".[9]

B.   Prinsip-prinsip Umum Ekonomi Islam
Ekonomi Islam, menurut para pembangun dan pendukungnya, dibangun di atas, atau setidaknya diwarnai, oleh prinsip-prinsip relijius, berorientasi dunia dan akhirat. Dalam tataran paradigma seperti ini, para ekonom muslim masih dalam satu kata, atau setidaknya, tidak ada perbedaan yang berarti.[10]
Pada dasarnya bangunan ekonomi islam dapat tergambarkan secara jelas dengan gambar di bawah ini, yang jika diibaratkan sebagai sebuah bangunan sebagaimana divisualisasikan oleh Adiwarman:
Bangunan ekonomi islam didasarkan atas lima nilai universal yaitu: Tauhid (keimanan), ‘Adl (keadilan), Nubuwwah (kenabian), Khilafah (pemerintahan), dan Ma’ad (hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun teori-teori ekonomi islam.[11]
Namun teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi system, akan menjadikan ekonomi islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa memberi dampak pada kehidupan ekonomi. Karena itu, dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derifatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal system ekonomi islami. Ketiga prinsip derivative itu adalah multitype ownership, freedom to act, dan social justice.
Di atas semua nilai dan prinsip adalah akhlak. Akhlak menempati posisi puncak agar manusia senantiasa menjadikannya sebagai tujuan islam di muka bumi dan sebagai bentuk dakwah itu sendiri. Akhlak inilah yang kemudian mendorong terciptanya praktek ekonomi yang sesuai dengan syariat islam.
Berikut pejelasan dari lima nilai universal dalam ekonomi islam, yaitu[12]:
1.     Tauhid
Tauhid merupakan fondasi ajaran islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “Tiada satupun yang layak disembah selain Allah” dan “Tiada pemilik langit,  bumi dan isinya selain dari pada Allah”[13] karena Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya[14] dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan sumber daya yang ada. Karena itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah untuk “memiliki” untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka.
Dalam islam, segala sesuatu yang ada tidak diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan.[15] Tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah kepadanya.[16] Karena itu segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam dan sumber daya manusia (mu’amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena kepada-nya manusia akan mempertanggung jawabkan segala perbuatan, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.
2.     Adl
Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara zalim. Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi harus memelihara hokum Allah di bumi, dan menjamin bahwa pemakain segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat manfaat daripadanya secara adil dan baik. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Islam mendefinisikan adil sebagai “tidak mendzalimi dan tidak didzalimi”. Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkotak-kotak dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan mendzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia. Masing-masing berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya.
3.     Nubuwwah
Karena rahman, rahim dan kebijaksanaan allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubat) keasal-muasal segala, Allah. Fungi rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan di sunia dan akhirat. Untuk umat muslim, Allah telah mengirimkan “manusia model” yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad Saw. sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya, adalah sebagai berikut:
a)    Siddiq (jujur) ;
b)   Fathanah (kredibilitas) ;
c)    Amanah (tanggung jawab) ; dan
d)    Tabligh (komunikasi dan terbuka).
Sifat nabi di atas menjadi acuan bagi aktivitas ekonomi. Sifat di atas juga sangat manusiawi sehingga dalam ejawantahannya sangat nyata untuk dilakukan. Juga sifat di atas adalah lambang profesionalitas, prestatif, dan kontributif dalam pelaksanaan aktivitas ekonomi.[17]
4.     Khilafah
Dalam al-qur’an Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah  di bumi, artinya untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi. Karena itu pada dasarnya setiap manusia adalh pemimpin. Nabi bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya”. Ini berlaku bagi semua manusia, baik ia sebagai individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat atau kepala Negara. Nilai ini mendasari prinsi kehidupan- kehidupan kolektif manusia dalam islam (siapa memimpin siapa). Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi (mu’amalah) antar kelompok-kelompok termasuk dalam bidang ekonomi agar kekacauan dan keributan dapat dihilangkan atau dikurangi. Firman Allah ta’ala dalam al-qur’an, “(Yaitu) orang-orang yang jika kami teghkan kedudukan mereka dimuka bumi, niscaya mereka menyeru berbuat baik dan mencegah dari perbuatan jahat.”
Dalam islam, pemerintah memainkan peran yang kecil tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syari’ah, dan untuk memastikan tidak terjadi terhadap pelangaran hak-hak manusia. Semua ini dalam kerangka untuk mencapai maqasid al-syar’iyah (tujuan-tujuan syari’ah), untuk memajukan kesejahteraan manusia. Hal ini dicapai dengan melindungi keimanan, jiwa, akal, kehormatan dan kekayaan manusia.
5.     Ma’ad
Walaupun seringkali diterjemahkan sebagai “kebangkitan”, tetapi secara harfiah ma’ad berarti “kembali”. Karena kita semua akan kembali kepada Allah. Hidup manusia bukan hanya di dunia, tetapi terus berlanjut hingga alam akhirat. Pandangan yang khas dari seorang muslim tentang dunia dan akhirat dapat dirumuskan sebagai: “ Dunia adalah ladang akhirat”. Artinya, dunia adalah wahana bagi manusia untuk bekerja dan beraktivitas (beramal saleh). Namun demikian, akhirat lebih baik dari pada dunia. Karena itu Allah melarang untuk terikat pada dunia, sebab jika dibandingkan dengan kesenangan akhirat, kesenangan dunia tidaklah seberapa.
Kehidupan adalah proses dinamik menuju peningkatan. Ajaran-ajaran islam memandang kehidupan manusia di dunia ini sebagai pacuan dengan waktu. Umur manusia sangat terbatas dan banyak sekali peningkatan yang harus dicapai dalam rentang waktu yang sangat terbatas ini. Kebaikan dan kesempurnaan sendiri merupakan tujuan-tujuan dalam proses ini. Nabi saw diceritakan pernah menyuruh seorang penggali kubur untuk memperbaiki lubang yang dangkal di suatu kuburan meskipun hanya permukaannya saja. Beliau menetapkan aturan bahwa “Allah menyukai orang yang, bila melakukan sesuatu melakukannya dengan cara yang sangat baik.”
Jangan membuat mudarat (kesulitan) dan jangan ada mudarat, (لاضررولاضرار) adalah frasa yang senantiasa diucapkan oleh Nabi saw. Frasa ini berarti “madarat yang direncanakan secara sadar dan dilakukan oleh seseorang untuk menyakiti, dan juga yang dilakukan sekedar untuk melukai. Fakta mengenai madarat yang menyakitkan seseorang perlu mendapatkan perhatian, baik yang disengaja oleh pelakunya untuk maksud tersebut maupun ynag tidak dimaksudkan untuk tujuan tersebut. Madarat harus dilenyapkan tanpa mempertimbangkat niat yang melatarbelakanginya. Namun kita harus cukup realistik dalam mengamati bahwa menghilangkan “madarat” sama sekali dari kehidupan manusia adalah tidak mungkin. Madarat itu sendiri selalu tidak diharapkan. Namun bila hal itu merupakan syarat yang tidak dapat dielakkan adanya, maka ia bisa dibenarkan.”
Kelima nilai yang telah diuraikan di atas menjadi dasar inspirasi untuk menyusun teori-teori ekonomi islam. Dari kelima nilai ini kita dapat menurunkan tiga prinsip derivatif ynag menjadi ciri-ciri sistem ekonomi islam. Prinsip derivatif tersebut adalah:
a)     Multitype Ownership (Kepemilikan Multi Jenis)
Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep Multitype Ownership. Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta; dalam sistem sosial, kepemilikan negara, sedangkan dalam islam, berlaku prinsip kepemilikan multi jenis, yakni mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, negara atau campuran.
Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik primer langit, bumi dan seisinya adalah Allah, sedangkan manusia diberi amanah untuk mengelolanya. Jadi manusia dianggap sebagai pemilik skunder. Dengan demikian, konsep kepemilikan swasta diakui. Namun untuk menjamin keadilan, yakni supaya tidak ada proses penzaliman segolongan orang terhadap segolongan yang lain, maka cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat orang banyak dikuasai negara. Dengan demikian, kepemilikan negara dan nasionalisasi juga diakui. Sistem kepemilikan campuran juga mendapat tempat dalam islam, baik campuran swasta-negara, swasta domestik-asing, atau negara-asing. Semua konsep ini berasal dari filosofi norma dan nilai-nilai islam.
b)    Freedom to act (Kebabasan untuk Bergerak/Usaha)
Ketika menjelaskan nilai nubuwwah, kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa penerapan nilai ini akan melahirkan pribadi-pribadi yang profesional dalam segala bidang, termasuk bidang ekonomi dan bisnis. Pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis menjadikan Nabi sebagai teladan dan model dalam melakukan aktivitasnya. Sifat-sifat Nabi yang dijadikan model tersebut terangkum ke dalam empat sifat utama, siddiq, amanah, fathonah dan tabhligh. Sedapat mungkin setiap Muslim harus dapat menyerap sifat-sifat ini agar menjadi bagian perilakunya sehari-hari dalam segala aspek kehidupan.
Keempat nilai nubuwwah ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan nilai khilafah (good goverence) akan melahirkan konsep freedom to act pada setiap muslim, khususnya pelaku bisnis dan ekonomi. Freedom to act bagi setiap individu akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian. Karena itu, mekanisme pasar adalah keharusan dalam Islam, dengan syarat tidak ada distorsi (proses penzaliman). Potensi distorsi dikurangi dengan menghayati nilai keadilan. Penegakan nilai keadilan dalam ekonomi dilakukan dengan melarang semua mafsadah (segala yang merusak), riba, gharar dan
maysir. Negara bertugas menyingkirkan atau paling tidak mengurangi distorsi pasar ini. Dengan demikian, negara/pemerintah bertindak sebagai wasit yang mengawasi interaksi pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis dalam wilayah kekuasaannya untuk menjamin tidak dilanggarnya syariah, supaya tidak ada pihak-pihak yang zalim atau terzalimi, sehingga tercipta iklim ekonomi dan bisnis yang sehat.
c)     Social Justice (Keadilan Sosial)
Gabungan nilai khilafah  dan ma’ad melahirkan prinsip keadilan sosial. Dalam islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dan yang miskin.
Sekarang kita telah memiliki landasan teori yang kuat, serta prinsip-prinsip sistem ekonomi islam yang mantap. Namun dua hal ini belum cukup karena teori dan sistem menuntut adanya manusia yang menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam teori dan sistem tersebut. Dengan kata lain, harus ada manusia yan berprilaku, berakhlak secara profesional (ihsan, itqan) dalam bidang ekonomi, baik yang posisinya sebagai pejabat pemerintah, karena teori yang unggul dan sistem-sistem ekonomi yang syariah sama sekali bukan merupakan jaminan bahwa perekonomian umat islam akan otomatis maju. Sistem ekonomi islam hanya memastikan bahwa tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Tetapi kinerja bisnis tertanggung pada man behind the gun-nya. Karena itu pelaku ekonomi dalam kerangka ini dapat saja dipegang oleh umat non-muslim. Perekonomian umat islam baru dapat maju bila pola pikir dan pola laku muslimin dan muslimat sudah itqan (tekun) dan ihsan (profesional). Ini mungkin salah satu rahasia sabda Nabi Saw. “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Karena akhlak menjadi indikator baik-buruknya manusia. Baik buruknya perilaku bisnis para pengusaha menentukan sukses-gagalnya bisnis yang dijalankannya. 
Sedangkan menurut Metwally, prinsip-prinsip ekonomi islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut[18]:
1.     Dalam ekonomi islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefesien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan orang lain. Namun yang terpenting adalah bawa kegiatan tersebut akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti.
2.     Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan factor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan kedua, islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
3.     Kekuatan penggerak utama ekonomi islam adalah kerja sama. Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntutan allah swt dalam al-qur’an:
hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan peedagangan yang dilakukan secara suka sama suka diantara kalian…”(QS 4: 29)
4.     Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai capital produktif yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al-qur’anmengungkapkan bahwa, “Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya sekedar di antara orang-orang kaya saja diantara kalian…”(QS 57: 7). Oleh karena itu, system ekom]nomi islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan system ekonomi kapitalis, dimana kepemilikan industry didominasi dan dimonopoly dan oligopoly, tidak terkecuali industry yang merupakan kepentingan umum.
5.     Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api.” Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industry ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan, harus dikelola oleh Negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industry tidak boleh dikuasai oleh individu.
6.     Seorang muslim harus takut pada Allah dan hari Akhirat, seperti diuraikan dalam al-qur’an:
Dan takutlah pada hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diberikan balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dilakukannya. Dan mereka tidak teraniaya…”(QS 2: 281) oleh karena itu, islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.
7.     Seorang muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (Idle assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak, dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (net earning from transaction), dan 10% dari pendapatan bersih investasi.
8.     Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun instansi lainnya. Al-qur’an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat al-qur’an secara berturut-turut sebagai berikut:
Pada tahap pertama dalam surat (30) ar-Rum ayat 39 Allah berfirman:
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
Artinya:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Tahap kedua Allah berfirman dalam surat (4) an-Nisaa’ ayat 160-161 sebagai berikut:
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rߊ$yd $oYøB§ym öNÍköŽn=tã BM»t7ÍhŠsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZŽÏWx. ÇÊÏÉÈ ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJŠÏ9r& ÇÊÏÊÈ
Artinya:
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

 Tahap ketiga diturunkan oleh Allah melalui surat (3) Ali Imran ayat 130 sebagai berikut:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
    Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Tahap terakhir larangan riba terdapat dalam surat (2) al-Baqarah ayat 278-279:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Islam bukan satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga tidaklah adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani Kuno. Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk praktik bunga. Dalam perjanjian lama, larangan riba tercantum dalam Leviticus 25: 27, Deutronomi 23: 19, Exodus 23: 25 dan dalam perjanjian baru dapat dijumpai dalam Lukas 6:35.

C.   Kesimpulan
Ilmu ekonomi Islam bukan hanya disebut ilmu pengetahuan positif (positive science) atau ilmu pengetahuan normatif (normative science) saja, melainkan kedua mempunyai hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan Sehingga kita tidak menginjak daerah sekulerisme tersebut.
Menurut Mohammad Daud Ali, ekonomi islam adalah kumpulan dasar-dasar ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an as-Sunnah yang ada hubungannya dengan urusan ekonomi.
Pada dasarnya bangunan ekonomi islam dapat tergambarkan secara jelas dengan gambar di bawah ini, yang jika diibaratkan sebagai sebuah bangunan sebagaimana divisualisasikan oleh Adiwarman:
  
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul, dkk, 2010, Kapita selekta Ekonomi IslamKontemporer, Bandung: Alfabeta.Afzalur Rahman, 1995, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf)
Arifin, Zainul , 2009,  dasar-dasar manajemen bank syari’ah, Tangerang: Azkia Publisher
Anto, M.B. Hendrie, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Jogjakarta : Ekonisia
Iswadi, Muhammad, Ekonomi Islam: Kajian Konsep  Dan Model Pendekatan, dalam Mazahib, Vol. IV, No. 1, Juni 2007
Mannan, M.Abdul, 1997, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa)
Moehammad, Goenawan, 2000, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Jogjakarta : UII-Press.
Mujahidin, Akmal, 2013, Ekonomi Islam: Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Zadjuli, Suroso Imam, “Reformasi Ilmu Pengetahuan dan Perspektif Ekonomi Islam di Indonesia”, Makalah dipresentasikan Program Doktor Program Studi Ilmu Ekonomi Minat Studi Ekonomi Islam-Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007
http://syariahkita.wordpress.com/2010/03/25/prinsip-dan-dasar-ekonomi-islam/ 
http://wahanabelajarekonomiislam.blogspot.com/2012/11/prinsip-prinsip-ekonomi-islam.html




[1] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal.8
[2] Suroso Imam Zadjuli, “Reformasi Ilmu Pengetahuan dan Perspektif Ekonomi Islam di Indonesia”, Makalah dipresentasikan Program Doktor Program Studi Ilmu Ekonomi Minat Studi Ekonomi Islam-Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007, hal. 3.
[3]  http://syariahkita.wordpress.com/2010/03/25/prinsip-dan-dasar-ekonomi-islam/ 
[4] Muhammad Iswadi, Ekonomi Islam: Kajian Konsep  Dan Model Pendekatan, dalam Mazahib, Vol. IV, No. 1, Juni 2007, h. 5
[5] Muhammad Iswadi, Ibid.
[6] Muhammad Iswadi, Ibid.
[7] M.Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hal. 19.
[8] Abdul Aziz, dkk, 2010, Kapita selekta Ekonomi IslamKontemporer, Bandung: Alfabeta, h. 18
[9] Goenawan Moehammad, 2000, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Jogjakarta : UII-Press.
[10] M.B. Hendrie Anto, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Jogjakarta : Ekonisia, h.89-93
[11] Akmal Mujahidin, 2013, Ekonomi Islam: Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h. 24-25
[12] Akmal Mujahidin, Ibid., h. 25-33
[13] QS. Al-Baqarah: 107
[14] QS. Al-An’am: 2
[15] QS. Al-Mu’minun: 115
[16] QS. Adz-Dzariyat: 56
[17] http://wahanabelajarekonomiislam.blogspot.com/2012/11/prinsip-prinsip-ekonomi-islam.html
[18] Zainul arifin, 2009,  dasar-dasar manajemen bank syari’ah, tangerang: azkia publisher, h. 16-19

No comments: