PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Banyak kita lihat sekarang ini kaum muslimin belum begitu paham
tentang Rukun-rukun pernikahan dan Syarat-syarat pernikahan. Kaum muslimin
hanya mengetahui sebagian umum saja tanpa memahami secara pasti dan jelas
bagaimana rukun dan syarat pernikahan yang sesuai dengan syariat islam.
Dan penulis menganggap bahwa realita kehidupan kaum muslimin
sekarang ini yang tidak memahami secara kuat dan jelas tenta rukundan syarat
pernikahan. Oleh sebab itu pemakalah berupaya menyajikan makalah yang membahas
tentang rukun dan syarat pernikahan, agar pemakalah khususnya dan pembaca
umumnya mengetahui secara jelas dan pasti dan tidak menyimpang dari syariat
islam.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka
rumusan masalah adalah:
1.
Apa saja rukun
pernikahan ?
2.
Apa saja
syarat-syarat pernikahan ?
3.
Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui rukun pernikahan.
2.
Untuk
mengetahui syarat-syarat pernikahan.
PEMBAHASAN
1. Rukun Pernikahan
Rukunركن (jamaknya اركان)
dapat diterjemahkan seperti "tiang" dan adalah satu
penting bagian dari hakikat sah dari sesuatu. Tanpa ini, itu
hakikat sah tidak berada.
Rukun
adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu tidak akan ada tanpanya.
Definisi lain tentang rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu.
a.
Adanya calon
suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.
b.
Adanya wali
dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah akan
dianggap sah apabila ada seorang atau wakilnya yang akan menikahkannya,
berdasarkan sabda Nabi SAW :
اَيُّمَا اِمْرَاَةٍ نِكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيَّحَا فَنِكَا
حُحَا بَا طِلٌ اخرجه الاربعة الا للنسائ
Artinya : “Perempuan mana saja yang menikah tanpa
seizin walinya, maka pernikahan batal.”
Dalam hadist
lain Nabi SAW bersabda :
لاَ تُزَوِّجِ اْ لمَرْاَةَ وَلاَ تُزَوِّجِ اْلمَرْاَةُ نَفْسَحَا رواه ا بن ماجه والدارقطنِى
Artinya : “Janganlah seorang perempuan menikahkan
perempuan lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.”
c.
Adanya dua
orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang
menyaksikan akad nikah tersebut.
d.
Sighat akad
nikah yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak
wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Seluruh ahli fiqih sepakat bahwa pernikahan dilakukan dengan akad,
yang mencakup ijab kabul dari kedua belah pihak atau wakil dari keduanya. Nikah
tidak sah hanya dengan sekedar kerelaan kedua belah pihak. Di sinilah nikah
berbeda dengan zina, karena biasanya dalam zina juga terdapat kerelaan dari
kedua belah pihak.[2]
Seluruh ahli fiqih sepakat tentang sahnya akad, yang ijabnya
menggunakan kata “saya kawinkan” atau “saya nikahkan” yang diucapkan wanita
atau wakilnya, dan kata “saya terima” atau “saya setuju” yang diucapkan pria
atau wakilnya.
2. Syarat Pernikahan
Syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya
dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam
arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Adapula syarat
itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dalam unsur rukun.[3]
Jadi yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah syarat yang bertalian dengan
rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai laki-laki dan
perempuan , wali, saksi dan ijab qabul.
1.
Syarat-syarat pengantin pria :
Syari’at islam menentukan beberapa syarat
yang harus di penuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu :
a.
Calon suami beragama islam
b.
Terang (jelas) bahwa calon suami itu laki-laki, hal
ini disyaratkan agar pelaksanaan hukum islam itu lancar dan tidak mengalami
hambatan.Hukum islam ditetapkan untuk kemaslahatan umat, dan hal perikatan
hukum islam menghendaki adanya pelaksanaan perolehan hak dan kewajiban berjalan
lancar. Oleh sebab itu perlu penegasan bahwa calon pengantin laki-laki
benar-benar laki-laki, agar dalam berumah tangga dapat memenuhi hak dan
kewajiban sebagai suami dengan baik.
c.
Bukan mahram dari calon istri. Persyaratan ini sangat
perlu untuk melandasi jangan sampai perkawinan itu merupakan pelanggaran
terhadap hukum. Kalau laki-laki ada hubungan mahram , maka melaksanakannya
merupakan dosa dan hukumnya tidak sah atau haram
d.
Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan
perkawinan. Karena perbuatan jika ada keterpaksaan maka hasilnyan pun tidak
baik, maka perkawinan merupakan perbuatan hukum , harus dijalankan dengan
kerelaan pihak calon suami.
e.
Tidak sedang menjalankan ihram, karena tidak boleh
melakukan perkawinan juga tidak boleh mengawinkan orang lain, bahkan melamar
juga tidak boleh. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw menurut riwayat
Imam Muslim dari sahabat Usman Bin Affan :
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ
يَحْتُبُ رواه مسلم عن عثمان ابن عقا ن
“Tidak boleh kawin orang yang sedang ihram,
dan tidak boleh mengawinkan serta tidak boleh melamar “
2.
Syarat-syarat pengantin wanita
a.
Beragama islam
b.
Jelas bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci). Karena
perkawinan itu perjanjian antara wanita dan pria, maka perlu kejelasan yang
melakukan akad tersebut.
c.
Tidak ada halangan syar’i, yaitu tidak bersuami, bukan
mahram, tidak sedang dalam iddah
d.
Atas kemauan sendiri (tidak dipaksa), artinya
mempunyai kebebasan untuk menentukan sikap. Paksaan disini adalah paksaan
dengan ancaman yang mengakibatkan terancam keselamatan jiwa.
e.
Tidak dalam keadaan ihram
3.
Syarat-syarat wali
a.
Beragama islam
b.
Seorang laki-laki
c.
Baligh
d.
Berakal dan adil (tidak fasik), maksudnya wali tidak
melakukan perbuatan maksiat, tidak fasik, ia orang baik, orang shaleh, orang
yang tidak membiasakan diri berbuat yang mungkar
e.
Tidak sedang ihram haji
Perkawinan tanpa wali tidak sah,
berdasarkan sabda Nabi Saw :
لاَ نِكَا حَ اِلاَّ بِوَلِيِّ رواه ا لخمسائ
“Tidak sah perkawinan tanpa wali”
Dan yang wali disini adalah yang utama
ayahnya, kemudian kakek (ayah dari ayah), kemudian saudara laki-laki seayah
seibu, kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara
laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah,
kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, kemudian paman (saudara
laki-laki ayah), kemudian anak laki-laki dari paman tersebut. Tertib ini wajib
dijaga dengan baik[4].
Bila sudah benar-benar tidak ditemui seorang kerabat atau
yang dimaksud adalah wali di atas maka alternatif berdasarkan hadis Nabi adalah
pemerintah atau hakim.
وعن سليمان ابن موسى عن الزهرى عن عروة عن عائشة رضى الله عنها
ان النبى صلى الله عليه وسلم قال : ايما امراءة نكحت بغيراذن وليها فنكاحها باطل,
فنكاحها باطل, فاءن دخل بها فلها المهر بمااستحلى من فرجها فاءن اشتجروا فالسلطان
ولي من لا ولي له.
Wanita manapun yang kawin tanpa seizing walinya, maka
pernikahannya batal, pernikahannya batal. Bila (telah kawin dengan syah dan)
telah disetubuhi, maka ia berhak menerima maskawin (mahar) karena ia telah
dinikmati kemaluannya dengan halal. Namun bila terjadi pertengkaran diantara
para wali, maka pemerintah yang menjadi wali yang tidak mempunyai wali.
Wali dapat di pindah oleh hakim bila: Terjadi pertentangan
antar wali dan Jika tidak adanya wali, ketidak adanya di sini yang
dimaksud adalah benar-benar tidak ada satu kerabat pun, atau karena jauhnya
tempat sang wali sedangkan wanita sudah mendapatkan suami yang kufu.
4.
Syarat-syarat Saksi
a.
Beragama Islam
b.
Laki-laki
c.
Baligh
d.
Berakal dan adil
e.
Dapat mendengar dan melihat
f.
Tidak dipaksa
g.
Tidak sedang ihram
h.
Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul.
5.
Syarat –syarat ijab qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan
qabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan aqad nikah. Ijab dilakukan pihak wali
mempelai perempuan atau walinya. Sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai
laki-laki atau wakilnya.
Ijab dan qabul dilakukan di dalam satu
majlis, dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak
kesatuan aqad, dan dapat di dengar kedua belah
pihak dan 2 orang saksi. Sedangkan hanafi membolehkan jarak antara ijab
dan qabul asal masih di dalam satu majlis dan tidak ada hal-hal yang
menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud aqad.
Dan lafadz yang digunakan untuk aqad nikah
adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahan nya adalah kawin atau
nikah, sebab kalimat itu terdapat dalam kitab Allah dan sunnah.
Perkawinan wajib dengan aqad nikah dan dengan lafadz
atau kalimat tertentu , berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw :
اِتَّقُوْااللهَ النِّسَاّءِ فَاِ نَّكُمْ
اَخَذْ تُمًوْحُنَّ وَا سْتَحْلَيْتُمْ قُرُجَحُنَّ بِكَلِمَةِ ا للهِ رواه مسلم
“Takutlah engkau sekalian
kepada Allah dalam hal orang- orang perempuan, sesungguhnya engkau sekalian
mengambil mereka dan membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat
Allah”
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Rukun
adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.Jumhur ulama
sepakat bahwa rukun pernikahan
terdiri atas : Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan. Adanya
mempelai
pria dan wanita, wali dari pihak
calon pengantin wanita, dua orang saksi, shighat aqad nikah
Syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak
merupakan unsurnya.
Syarat-syarat pengantin pria yaitu : Calon
suami beragama islam, Terang (jelas) bahwa calon suami itu laki-laki, Bukan
mahram dari calon istri, Calon suami
rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan, Tidak sedang menjalankan ihram Syarat-syarat
pengantin wanita yaitu : Beragama islam , Jelas bahwa ia wanita, bukan khuntsa
(banci). Tidak ada halangan syar’i, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak
sedang dalam iddah, Atas kemauan sendiri (tidak dipaksa), Tidak dalam keadaan
ihram. Syarat-syarat wali yaitu : Beragama islam, Seorang laki-laki, Baligh,
Berakal dan adil (tidak fasik), Tidak sedang ihram haji. Syarat-syarat Saksi
yaitu: Beragama Islam, Laki-laki, Baligh, Berakal dan adil, Dapat mendengar dan
melihat, Tidak dipaksa, Tidak sedang ihram, Memahami bahasa yang
dipergunakan untuk ijab qabul. Syarat
–syarat ijab qabul yaitu : Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul
dengan lisan. Inilah yang dinamakan aqad nikah. Ijab dilakukan pihak wali
mempelai perempuan atau walinya. Sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai
laki-laki atau wakilnya. Dan lafadz yang digunakan adalah lafadz nikah atau tazwij, yang
terjemahan nya adalah kawin atau nikah, sebab kalimat itu terdapat dalam kitab
Allah dan sunnah
Daftar Pustaka
Abdurrahman,2005, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana
Muhammad Ibrahim, 2007, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab,
Jakarta : Cahaya
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Group
Dr. H. Abdulrahman, 2006, Fiqih Munakahat, Jakarta
: Kencana Prenada Group
[1] Dr. H.
Abdulrahman, Fiqih Munakahat, Jakarta
: Kencana Prenada Group, 2006,h. 46
[2] Muhammad
Ibrahim, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab,
Jakarta : Cahaya, 2007, h.324
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada
Group, . h. 59
[4]Abdurrahman, Fiqih Munakahat,
(Jakarta : Kencana, 2006) hl 63
No comments:
Post a Comment