PENDIDIKAN NILAI DAN MORAL
Oleh : Fitria Rosdiana
dan Kuni Kholifah
A. Latar Belakang
Pendidikan bertujuan bukan hanya membentuk manusia
yang cerdas otaknya dan terampil dalam melaksanakan tugas, namun diharapkan
menghasilkan manusia yang memiliki moral, sehingga menghasilkan warga negara
yang baik. Hal ini sesuai dalam UU RI No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Bab II Pasal 4, dijelaskan bahwa: “Pendidikan
Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab.
Pada kennyataannya, pendidikan di Indonesia berjalan
jauh dari harapan yang ada. Pendidikan yang diharapkan dapat membangun karakter
bangsa tak mengubah segalanya. Bahkan tak jarang terdengar peserta didik
terlibat kasus pembunuhan, perampokan, geng motor, narkoba, tawuran dll.
Semestinya ini tak terjadi karena nasib suatu bangsa ditentukan dari generasi
saat ini.
Gejala kemerosotan nilai-nilai akhlak dan moral
dikalangan masyarakat sudah mulai luntur dan meresahkan. Sikap tenggang rasa,
cinta damai, tolong menolong, ramah tamah, kejujuran, saling menyayangi
hanyalah kata-kata semata. Sudah menjadi rahasia umum timbulnya kemerosotan
nilai dan moral generasi muda atau pelajar dikarenakan mereka tidak mengenal
agama, tidak diberikan pengertian agama, tidak memiliki contoh yang pantas
ditiru. Jika keadaan seperti diatas dibiarkan terus menerus maka mutu
pendidikan masih dipertanyakan.
Pendidikan nilai dan moral bukan hal asing ditelinga
kita. Namun dampak dan aplikasi dari pendidikan nilai dan moral sampai saat ini
belum dirasakan secara jelas. Padahal tujuan pendidikan mengandung unsur
pendidikan nilai dan moral. Semakin banyaknya sekolah berbasis Islam tak
menjamin pendidikan nilai dan moral dapat berjalan dengan baik. Oleh sebab itu,
perlu kiranya membahas tentang “Pendidikan
Nilai dan Moral”.
B. Pengertian Nilai dan Moral
Nilai atau value (bahasa Inggris) atau Valere
(bahasa Latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai
adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan,
berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek kepentingan.[1]
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, dan
indah untuk memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat dan
martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi untuk mendorong dan
mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai juga dapat diartikan sebagai
standar tingkah laku, dan kebenaran yang mengikat masyarakat manusia, sehingga
menjadi kepatutan untuk dijalankan dan dipertahankan. Oleh karna itulah nilai
pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang
hingga standar itu yang akan mewarnai perilaku seseorang.[2] Gulo
menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut:[3]
a. Nilai tidak bisa diajarkan tetapi
diketahui dari penampilannya.
b. Pengembangan dominan afektif pada nilai
tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.
c. Masalah nilai adalah masalah emosional
dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa dibina.
d. Perkembangan nilai atau moral tidak
terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Menurut Richard Eyre dan Linda
nilai yang benar dan diterima secara universal adalah nilai yang menghasilkan
suatu perilaku dan perilaku itu berdampak positif baik bagi yang menjalankan
maupun orang lain. Inilah prinsip yang memungkinkan tercapainya ketentraman
atau tercegahnya kerugian atau kesusahan.
Jadi nilai merupakan sesuatu yang
penting sehingga bisa menghasilkan perilaku yang berdampak positif nagi dirinya
dan masyarakat. Ukuran yang menjadikan nilai tersebuut berarti adalah lingkungan/masyarakat
setempat. Dan apabila nilai itu berdampak baik maka akan terus dipertahankan
sehingga manusia memiliki patokan dalam melakukan sesuatu secara universal.
Perkataan moral berasal dari bahasa
Latin mores, jamak kata mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut di atas, moral artinya ajaran tentang
baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi
pekerti, akhlak. Moral adalah istilah yang digunakan untuk menentukan
batas-batas suatu sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang layak
dikatakan benar, salah, baik, buruk.[4]
Dalam Ensiklopedi Pendidikan, sesuai dengan makna
aslinya dalam bahasa latin (mos),
adat istiadat menjadi dasar untuk menentukan apakah perbuatan seseorang baik
atau buruk. Oleh karena itu pula untuk mengukur tingkah laku manusia, baik atau
buruk, dapat dilihat apakah perbuatan itu sesuai dengan adat istiadat yang umum
diterima halnya, maka dapat dikatakan, baik atau buruk suatu perbuatan moral,
bersifat local.[5]
Ya’kub menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan moral
ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana
baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran tindakan-tindakan yang oleh umum
diterima, yang meliputi kesatuan social lingkungan tertentu.[6]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa nilai
adalah suatu tolak ukur dari etika yang dimiliki seseorang dalam kehidupannya
atau suatu konsep yang dianggap sangat penting dalam kehidupan seseorang dan dengan konsep itu seseorang dapat dipandang
baik secara personal maupun dalam masyarakat bahkan menjadi kekuatan dalam
melahirkan tingkah laku. Sedangkan moral adalah prinsip baik buruk dalam
masyarakat yang dianggap wajar atau tidak sehingga seseorang bisa berinteraksi
dengan orang lain sehingga moral berbentuk sesuatu yang ditampilkan kepada
orang lain.
C. Pendidikan Nilai dan Moral
Pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan untuk
mendidik manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta memiliki potensi
atau kemampuan sebagaimana mestinya. Pendidikan nilai pada dasarnya adalah
proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya
siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangn yang dianggapnya baik dan tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Pendidikan nilai bagi anak merupakan hal yang sangat
penting. Hal ini dikarenakan pengaruh era globalisasi yang banyak memberikan
efek negative. Pertukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa
ini akan mungkin terjadi secara terbuka. Bukan rahasia umum nilai-nilai yang
dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat bukan tak mungkin akan menjadi
luntur digantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya
masyarakat.[7]
Nilai bagi seseorang tidaklah statis, akan tetapi
selalu berubah. Seseorang menganggap sesuatu baik berdasarkan pandangannya saat
itu. Maka perlunya peran orang tua, guru, dan masyarakat dalam membina dan
mengarahkan nilai yang baik kepada peserta didik. Apabila seseorang mengnggap
nilai agama paling baik, maka ia akan menerapkan nilai agama dan sikap yang
dilakukan akan sesuai dengan nilai agama yang diyakininya. Artinya sikap
seseorang merupakan cerminan dari nilai yang menurutnya baik, dan sikap orang
itu mengendalikan kegiatannya sehari-hari.
Pendidikan nilai bukan hanya berurusan dengan
penanaman nilai bagi peserta didik, namun merupakan sebuah usaha bersama untuk
menciptakaan sebuah lingkungan pendidikan yang disana setiap individu dapat
menghayati kebebasannnya sebagai sebuah prasyarat bagi kehidupan moral dewasa.
Pendidikan nilai lebih kepada menciptakan kultur kehidupann yang mendukung
pertumbuhan individunya secara autentik.[8]
Dalam praktek kehidupan, nilai yang diperlukan oleh
manusia seperti nilai amanah, kesabaran, kemanusiaan, etos kerja, disiplin,
dll. Oleh karena itu Islam menekankan perlunya nilai-nilai tersebut terus
dibangun pada diri seseorang sebagai jalan menuju terbentuknya pribadi yang
tauhid. Dalam menjabarkan konsep nilai sebagai bagian dan pengembangan
kurikulum pendidikan Islam yaitu:[9]
1. Nilai yang banyak disebutkan secara
eksplisit dalam Alquran dan hadist yang semuanya terangkum dalam ajaran akhlak
yang meliputi akhlak dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama
manusia, alam dan makhluk lainnya.
2. Nilai yang diakui dan dibutuhkan oleh
seluruh ummat manusia karena hakekatnya sesuai dengan fitrah manusia seperti
cinta damai, ,menghargai hak asasi manusia, keadilan, demokrasi, kepedulian
social, dan kemanusiaan.
Dari penjelasan di atas, berarti
pendidikan nilai tidak terbatas menjadi tanggung jawab pendidikan agama sebagai
sebuah bidang studi, tetapi terintegrasi dalam seluruh bidang-bidang studi
lain. Misalnya dalam mengajarkan biologi dalam pendidikan harus mengantarkan
peserta didik pada keimanan kepada Allah. Implikasinya, guru bidang studi non
agama dalam system pendidikan juga harus memiliki komitmen terhadap pendidikan
keimanan dan nilai-nilai lain yang terkait dengan bidang-bidang studi tertentu.
Hal ini didasarkan asumsi bahwa menurut pandangan Islam tidak ada ilmu yang
bebas nilai.
Nilai merupakan isi pendidikan yang
sangat penting dalam pendidikan, dimana dalam praktik pendidikan banyak
menghadapi kendala, antara lain:[10]
a. Pandangan
hidup pragmatis
Pendidikan
nilai menekankan pentingnya proses penyadaran bahwa manusia membutuhkan nilai
untuk kualitas spiritualnya. Kalau nilai-nilai tersebut berkaitan dengan
masalah praktis dan secara riil berdampak keuntungan materil, mungkin tidak
terlalu sulit untuk menyadarkan peserta didik. Misalnya eros kerja sebagai
nilai, mudah dirasakan manfaatnya karena secara empiric dengan etos kerja akan
meningkatkan perekonomian. Berbeda dengan nilai ikhlas yang secara sempit sering diartikan tanpa
pamrih. Dalam kehidupan masyarakat yang cenderung pragmatis ikhlas semacam itu
dianggap tidak realistis karena tidak secara kontan dirasakan manfaatnya,
bahkan sering dianggap merugikan kepentingan sesaat.
b.
Penghargaan sesaat
Dalam
lingkungan masyarakat yang tidak kondusif bagi suatu nilai, maka yang menjadi
kendala bagi pendidikan nilai tersebut. Misalnya kejujuran, semua orang tahu
bahwa kejujuran itu penting, tetapi kalau kenyataannya dalam kehidupan
masyarakat banyak orang jujur yang justru kurang beruntung dan kurang mendapat
penghargaan, maka nilai kejujuran akan pudar. Maraknya korupsi, sogok-menyogok
dan pencurian merupakan contoh riil pudarnya kejujuran.
c. Penyempitan
makna ganda
Pada
dasarnya pendidikan agama adalah pendidikan nilai karena esensi agama adalah
system nilai. Tetapi ketika makna agama dipahami dan dihayati secara sempit
menjadi batas ibadah ritual. Penyempitan makna agama ini bisan muncul karena
pemahaman yang tidak sejalan dengan tuntutan ibadah dalam Islam. Dengan pola
pemikiran yang hanya memandang agama sebagai ritual namun tidak menampilkan
nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam Alquran dan hadist, maka agama akan
kehilangan wibawa moralnya. Kalau agama sudah kehilangan wibawa moralnya, maka
agama sebagai pilar pendidikan nilai dan moral akan roboh.
Sedangkan pendidikan moral melatih peserta didik
membangkitkan nafsu-nafsu rubbubiyah (ketuhanan) dan menghilangkan nafsu
syaithaniyah. Pada pendidikan moral, peserta didik dikenalkan atau dilatih
mengenai perilaku yang mulia dan perilaku yang tercela.[11]
Setelah mendapatkan pendidikan moral, diharapkan peserta didik memiliki dan
menerapkan perilaku terpuji dan meninggalkan perilaku tercela.
Terminology pendidikan moral dalam beberapa tahun
terakhir secara umum digunakan untuk menjelaskan penyelidikan isu-isu etika di
ruang kelas dan sekolah. Setelah itu, nilai-nilai pendidikan menjadi lebih
umum. Pengajaran etika dalam pendidikan moral lebih cenderung pada penyampaian
nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah. Sedangkan penerapan nilai-nilai itu dalam
kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat tidak mendapat porsi yang memadai.[12]
Dalam pendidikan moral ada tiga tahapan strategi
yang harus dilalui, yaitu:[13]
a. Moral
Knowing
Tahap
ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan moral. Dalam tahap ini tujuan
diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai. Peserta didik
harus mampu membedakan nilai akhlak terpuji dan nilai tercela serta nilai-nilai
universal. Sehingga memberikan pengetahuan anak lebih luas bukan hanya
berdasarkan agamanya anamun berdasarkan lingkungan dan kenyataan. Peserta didik
memahami secara logis dan rasional pentingnya akhlak mulia dan bahaya perbuatan
tercela dalam kehidupan. Apabila peserta didik memahami secara logis, maka
peserta didik tidak akan terpaksa menjalankan akhlak mulia, dan mereka merasa
perlu menanamkannya dan mengamalkannya dalam kehidupan. Peserta didik mengenal
sosok Nabi Muhammad SAW sebagai figure dari teladan akhlak mulia melalui
alqur’an, hadist dan cerita perjalanan hidupnya.
b. Moral
Loving
belajar
mencintai dengan melayani orang tanpa syarat. Tahap ini dimaksudkan untuk
menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Dalam
tahap ini yang menjadi sasaran guru adalah emosional peserta didik, hati atau
jiwa bukan lagi akal, rasio dan logika. Guru menyentuh emosi peserta didik
sehingga tumbuh kesadaran, keinginan dan kebutuhan sehingga peserta didik mau
mempraktikkannya. Guru bisa memasukinya dengan kisah-kisah yang menyentuh hati.
Dan diharapkan peserta didik mampu menilai dirinya sendiri dan sadar akan
kekurangan dirinya sehingga mau memperbaiki kekurangannya.
c. Moral
Doing
Puncaknya
peserta didik mempraktikkan nilai-nilai akhlak mulia dalam kehidupan
sehari-hari. Sehingga akan menjadi kebiasaan pada dirinya dan menjadi contoh
buat orang disekitarnya.
D. Pentingnya Pendidikan Nilai dan Moral
Kehidupan manusia di Era Globalisasi ini, sangat
rentan dengan kehidupan manusia yang menghalalkan berbagai cara, manusia dikhawatirkan
tidak lagi memilki nilai dan moral dalam kehidupannya, manusia terkurung oleh
nafsu kehidupan duniawinya, dan lupa akan kelemahan dirinya sebagai mahluk
ciptaan Allah SWT, untuk itulah sebagai upaya menyeimbangi ganasnya
modernisasi, perlu penekanan kembali tentang pendidikan nilai dalam dunia pendidikan
formal, in-formal dan non-formal.
Rohmat Mulyana menyimpulkan definisi pendidikan
nilai yang mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada
peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melaui
proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. [14]
Berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa pendidikan
nilai merupakan suatu upaya pembelajaran kepada peserta didik, untuk memahami
dan mengenal, menanamkan dan melestarikan, menyerap dan merealisasikan
nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia, yang berhubungan dengan kebenaran,
kebaikan, dan keindahan dalam pembiasaan bertindak yang konsisten dengan
tuntutan nilai.
Kosasih Djahiri menyatakan bahwa : Keluarga dan
kehidupannya tidak boleh disepelekan dan diabaikan. Padahal kecenderungannya
sekarang akibat dorongan kebutuhan materiil yang kian memuncak banyak ibu dan
bapak bekerja dan menyerahkan masalah hidup anaknya kepada “orang bayaran”
(pengasuh dan pembantu). Sehingga hampir segala urusan pendidikan sepenuhnya
diandalakan kepada sekolah. Dan celakanya disekolah masalah afektual, nilai
moral hampir-hampir tidak tersentuh.[15]
Berdasarkan hal tersebut diatas, keluarga sebagai
lingkungan yang pertama membentuk sifat, watak dan tabiat manusia, sudah
sepantasnyalah memiliki peranan yang sangat besar dalam pelaksanaan pendidikan
nilai terhadap anak. Orang tua memiliki suatu tanggung jawab bagaimana anak
diarahkan pada hal-hal yang baik dan buruk sesuai dengan nilai dan moral masyarakat
sebagai lingkunagan tempat tinggal kita, semua masyarakat memiliki adat atau
norma kebisaan tersendiri, dan itu semua diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Sementara ini, apabila kenyataan dimasyarakat banyak
peranan orang tua diserahkan dalam mendidik anak-anaknya ke orang lain atau
para pembantu rumah tangga, sudah tentu anak-anak tersebut memiliki sikap atau
tabiat yang akan jauh berbeda dengan tabiat orang tuanya, dan anak cenderung
akan mengikuti apa yang ia lihat, yang menyenangkan dirinya tanpa didasari oleh
baik buruk, benar salah, wajar tidak wajar, pantas tidak pantas, boleh tidak,
semua itu akan dilabraknya.
Apabila kita mencermati tayangan-tayangan televisi,
jarang sekali program acara yang mengajak atau memberikan gambaran tentang anak
sholeh, adat sopan santun, nilai-nilai luhur bangsa. Saat ini tayangan televisi
hampir semuanya mengarah kepada jenis hiburan yang sangat pulgar, atau cerita
selebriti yang seronok dan jauh dari norma-norma agama,sedangkan itu semua suka
dijadikan idola oleh para remaja. Wajar apabila sekarang ini nilai moral dan
norma anak bangsa sudah luntur dari nilai-nilai luhur manusia Indonesia yang
terkenal dengan adat sopan santun dan ramah tamahnya.
Dalam proses pendidikan nilai, tindakan pendidikan
yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mecapai tujuan yang lebih khusus. Seperti
dikemukakan komite APEID (Asia and the Pasific programme of Educational
Innovation for Development), pendidikan nilai secara khusus ditujukan untuk:
(a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak; (b) menghasilkan sikap yang
mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan; dan (c) membimbing perilaku yang
konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan pendidikan nilai
meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai
sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai. [16]
Selanjutnya Kosasih Djahiri
mengatakan bahwa dari berbagai gambaran terdahulu, dan terutama karakteristik
dunia afektif yang “unik-abstrak-kejiwaan”, maka memang pembelajaran dunia ini
bukanlah hal yang ringan. Sejumlah hambatan dan problema akan selalu hadir
dalam proses pendidikan nilai, diantaranya ialah :[17]
1) Kemahiran
menentukan dan membuat media stimulus pendidikan nilai yang ampuh dan berkadar
tinggi sehingga mampu mengundang “the instinctive participation” yang
aktif-terbuka.
2) Kemampuan
membina proses pendidikan nilai yang serasi sehingga tidak timbul gejolak “over
dan under active activities”.
3) Upaya
mencegah adanya gejolak “negative attitude” selama proses pembelajaran terhadap
isi pesan bahan ajar.
4) Memelihara
suasana pengajaran yang selalu “gersang” (segar merangsang) sehingga tidak
menciptakan kebosanan dan stagnasi.
5) Menangkal/mengurangi
hadirnya desonansi kognitif atau lainnya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, bahwa proses
pendidikan nilai tidak akan semulus apa yang diharapkan sesuai dengan
tujuannya, akan tetapi banyak kendala yang akan muncul dalam proses tersebut
baik itu dari factor dalam diri siswa, guru, lingkungan tempat tinggal,
lingkungan sekolah, situasi proses kegiatan belajar mengajar dan lain
sebagainya. Hal ini harus diperhatikan betul-betul sehingga dapat menjembatani
kondisi yang ada dengan bentuk pendidikan nilai yang diharapkan, kegunaan
pengetahuan nilai dan cara penyelesaian masalahnya.
Pendidikan moral menjadi penting karena dengan
pendidikan moral, anak mampu memiliki pertahanan diri dalam menghindari hal-hal
negative yang mungkin terjadi dalam perjalanan hidupnya. Selain itu, yang
terpenting pendidikan moral bagi anak adalah untuk menumbuhkan nilai-nilai
moral yang baik pada diri anak, agar ia secara mandiri mampu memilah mana yang
positif dan mana yang negative untuk dirinya. Tanpa perlu pengawasan dan
bimbingan dari orang tua atau pihak lain dikemudian hari, anak diharapkan mampu
menentukan segala tindakannya dalam batasan positif.[18]
Anak yang berkembang dengan nilai-nilai moral yang positif
dalam dirinya, dapat diharapkan untuk terhindar dari kenakalan remaja,
kriminalitas, juga menghindari narkoba. Untuk itu sebaiknya diketahui cara yang
tepat dan efektif bagi anak dalam mempelajari perilaku moral.
Untuk membangun watak bangsa perlu gerakan
pendidikan nilai. Asumsi yang digunakan adalah semua agama ketemu dalam missi
yang sama yaitu menegakkan moralitas dalam kehidupan berdasarkan nilai-nilai
kemanusiaan. Implikasi dari asumsi ini adalah:
1. Tidak ada pemisahan antara pendidikan
agama dan pendidikan nilai/moral karena pendidikan nilai sejalan dengan
pendidikan agama. Oleh karena itu pendidikan agama bertanggung jawab penuh
dalam pendidikan nilai dan moral. Implikasinya tidak p[erlu dikembangkan
rekayasa adanya pendidikan budi pekerti yang terlepas dari pendidikan agama
karena akan mempersubur pemisahan agama
yang secara tidak disadari semakin dalam.
2. Image
baik dikalangan pelajar, orang tua, guru dan masyarakat bahwa nilai dn ilmu
pengetahuan tidak dapat dipisahkan harus ditumbuh kembangkan. Sehingga semua
guru memiliki tanggung jawab mengajarkan nilai yang diintegrasikan dalam bidang
studi masing-masing. Bahkan akan lebih berarti lagi apabila guru bidang studi
lain merasa terlibat sebagai guru agama dalam aspek pendidikan nilai.
Penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap
pelanggaran nilai yang terjangkau hukum sangat membantu pendidikan nilai.
Runtuhnya nilai-nilai moral bangsa saat ini banyak disebabkan tidak adanya
tindakan hukum yang tegas dan adil. Sedangkan yang tak terjangkau. Oleh sebab
itu pendidikan nilai dan moral tak hanya menjadi tanggung jawab dalam
pendidikan formal. Tapi bekerja sama dengan masyarakat dalam menjalankan dan
menerapkannya di lingkungan sekitar. Terutama orang tua selaku pendidik utama
bagi anak, tidak hanya menyerahkan anak pada sekolah namun turut mengajarkan
kepada anaknya di rumah. Sehingga anak menjadi terbiasa bukan hanya di sekolah,
tapi di setiap tempat.
E. Kesimpulan
Nilai
adalah suatu tolak ukur dari etika yang dimiliki seseorang dalam kehidupannya
atau suatu konsep yang dianggap sangat penting dalam kehidupan seseorang dan dengan konsep itu seseorang dapat
dipandang baik secara personal maupun dalam masyarakat bahkan menjadi kekuatan
dalam melahirkan tingkah laku. Sedangkan moral adalah prinsip baik buruk dalam
masyarakat yang dianggap wajar atau tidak sehingga seseorang bisa berinteraksi
dengan orang lain sehingga moral berbentuk sesuatu yang ditampilkan kepada
orang lain.
Pendidikan
nilai merupakan suatu upaya pembelajaran kepada peserta didik, untuk memahami
dan mengenal, menanamkan dan melestarikan, menyerap dan merealisasikan
nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia, yang berhubungan dengan kebenaran,
kebaikan, dan keindahan dalam pembiasaan bertindak yang konsisten dengan
tuntutan nilai.
Pendidikan
nilai menjadi penting karena dengan pendidikan nilai maka akan terbentuk da
terciptanya nilai-nilai luhur dalam hehidupan manusia yang berhubungan dengan
kebenaran dan kebaikan sehingga akan menjadi kebiasaan dalam bertindak dan
berjalan dengan konsisten. Melaui pendidikan nilai maka akan terciptanya moral
yang baik sehingga kehidupan sesame manusia berjalan tentram dan damai.
Pendidikan
moral adalah siatu upaya untuk memperkenalkan dan melatih peserta didik
mengenai perilaku yang mulia dan perilaku yang tercela. Setelah mendapatkan pendidikan moral,
diharapkan peserta didik memiliki dan menerapkan perilaku terpuji dan
meninggalkan perilaku tercela.
Pendidikan
moral menjadi penting karena dengan pendidikan moral, anak mampu memiliki
pertahanan diri dalam menghindari hal-hal negative yang mungkin terjadi dalam
perjalanan hidupnya. Selain itu, yang terpenting pendidikan moral bagi anak
adalah untuk menumbuhkan nilai-nilai moral yang baik pada diri anak, agar ia
secara mandiri mampu memilah mana yang positif dan mana yang negative untuk
dirinya. Tanpa perlu pengawasan dan bimbingan dari orang tua atau pihak lain
dikemudian hari, anak diharapkan mampu menentukan segala tindakannya dalam
batasan positif. Apabila pendidikan nilai dan moral sudah berjalan dengan baik,
maka dengan sendirinya kasus-kasus yang meresahkan masyarakat akan hilang.
Semua itu tak luput dari peran dan kerja sama antara orang tua, pendidik, dan
masyarakat dalam menciptakan pendidikan nilai dan moral.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Majid, Pendidikan Karakter Perspektif
Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2012)
Drs.
Heri Jauhari, Fikih Pendidiikan,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008)
Dian
Ibung, Mengembangkan Nilai Moral pada
Anak, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009)
G.
Tri Wardoyo, Melepas Panah, Melukis
Pelangi: Rahasia Pendidikan Calon Pemimpin di Seminari, (Elex Media, 2008)
Kosasih
Djahiri & Wahab, A. Dasar dan Konsep
Pendidikan Moral. (Jakarta : Projek Pendidikan Tenaga Akademik Dirjen
Dikti, 1996)
Mulyana,
Rohmat. Mengartikulasikan Pendidikan
Nilai, (Bandung : CV. Alfabeta,2004)
Prof.
DR. Achmadi, Ideologi Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Prof.
DR. H. Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2006)
Prof.
H. Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010)
Sjarkawi,
Pembentukan Kepribadian Anak,
(Jakarta: Bumi Aksara,2006)
[1] Sjarkawi, Pembentukan
Kepribadian Anak, (Jakarta: Bumi Aksara,2006), h. 29
[2] Prof. DR. H. Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2006), h. 274
[3] Ibid, h. 276
[4] Prof. H. Mohammad Daud, Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 253
[5] Ibid, h. 254
[6] Abdul Majid, Pendidikan
Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2012), h. 8
[7] Prof. DR. H. Winaa Sanjaya, opcit, h. 276
[8] G. Tri Wardoyo, Melepas
Panah, Melukis Pelangi: Rahasia Pendidikan Calon Pemimpin di Seminari, (Elex
Media, 2008), h. 167
[9] Prof. DR. Achmadi, Ideologi
Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 124
[10] Ibid, h. 125
[11] Drs. Heri Jauhari, Fikih
Pendidiikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), h. 16
[12] Abdul Majid, Pendidikan
Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2012), h.. 8
[13] Ibid, h. 112
[14] Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan
Pendidikan Nilai. (Bandung : CV. Alfabeta), h. 119
[15] Kosasih Djahiri & Wahab, A. Dasar
dan Konsep Pendidikan Moral. (Jakarta : Projek Pendidikan Tenaga Akademik
Dirjen Dikti, 1996), h. 47
[16] Mulyana, Rohmat. Opcit, h. 120
[17] Kosasuh Djahiri & Wahab, opcit, h.48
[18] Dian Ibung, Mengembangkan
Nilai Moral pada Anak, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009), h. 9
No comments:
Post a Comment