BAB I
PENDAHULUAN
Eksistensi suatu bangsa sangat
ditentukan oleh karakter yang dimilikinya. Hanya bangsa yang memiliki karakter
kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat dan disegani
oleh bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu menjadi bangsa yang berkarakter adalah
impian bangsa Indonesia.
Meskipun sudah bukan hal yang baru
lagi, namun harus diakui bahwa fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling
strategis dan membawa pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk
bangsa Indonesia. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman yang
berpotensi untuk menggulung tata nilai dan tradisi bangsa kita dan menggantinya
dengan tata nilai yang popular di negara asing.
Di era globalisasi yang tidak mampu
menahan derasnya arus informasi dari dunia manapun, membuat generasi muda
dengan mudah mengetahui dan menyerap informasi dan budaya dari negara lain,
demikian sebaliknya negara manapun dapat dengan mudah mendapatkan segala bentuk
informasi dan budaya dari negara kita, disinilah karakter bangsa diperlukan
karena apabila karakter bangsa tidak kuat maka globalisasi akan melindas
generasi muda kita. Generasi muda diharapkan dapat berperan menghadapi berbagai
macam permasalahan dan persaingan di era globalisasi yang semakin ketat
sekarang ini.
Untuk membentengi generasi muda
khususnya pelajar agar tidak terlindas oleh arus globalisasi maka diperlukan
pembangunan karakter yang kuat. Membangun karakter tidaklah segampang
membalikkan telapak tangan, meskipun tidak mudah tetapi membangun karakter
sangat penting, apalagi bagi generasi muda yang merupakan komponen bangsa
Indonesia yang paling rentan dalam menghadapi terpaan arus globalisasi. Karena
bagaimanapun juga generasi muda kita adalah cerminan karakter bangsa Indonesia.
Apabila generasi muda kita tidak menjunjung tinggi nilai dan norma menurut
falsafah Pancasila maka dapat dikatakan karakter bangsa kita memudar dan
hilang, bila karakter suatu bangsa hilang maka tidak ada lagi nama bangsa
Indonesia di peta dunia.
Dalam menghadapi era globalisasi,
pendidikan sangat diperlukan untuk membangun karakter bangsa. Baik itu dari
pendidikan formal, informal maupun non formal. Semua pendidikan intinya adalah
membawa perubahan karakter menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Sehubungan dengan hal tersebut,
Karakter bangsa masih dapat diselamatkan dan ditumbuh kembangkan melalui
pembelajaran. Proses pembelajaran membawa siswa kepada sosok generasi bangsa
yang tidak sekedar memiliki pengetahuan, tetapi juga memiliki moral yang
mencerminkan nilai-nilai luhur yang tertanam dalam benak siswa. Seiring denga
era globalisasi dan kemajuan dunia informasi, bangsa indonesia tengah dilanda
krisis nilai-nilai luhur yang menyebabkan martabat bangsa Indonesia dinilai
rendah oleh bangsa lain. Oleh karena itu, karakter bangsa Indonesia saat ini
perlu dibangun kembali.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Pendidikan Karakter
Di Indonesia, pendidikan karakter
telah dibahas secara tuntas oleh Ki Hadjar Dewantara dalam kedua karya
monumentalnya, Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan karakter
yang sekarang didengung-dengungkan oleh Kemendiknas sebenarnya hanya istilah
lain dari Pendidikan Budi Pekerti dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Begitu
agungnya pemikiran Ki Hadjar Dewantara,Malaysia telah melahirkan tujuh Doktor
yang mengkaji pemikirannya. Ironisnya, Indonesia justru baru melahirkan satu
doctor yang mengkaji Ki Hadjar Dewantara. Lebih dari itu, model pendidikan
karakter yang dicanangkan Kemendiknas justru berkiblat pada Thomas Lickona,
dengan alasan bahwa Lickona merupakan tokoh pertama yang mengenalkan pendidikan
karakter.
Diskursus pendidikan karakter
mengalami perdebatan panjang yang tidak jelas ujung pangkalnya. Misalnya,
apakah orang yang dilahirkan berkarakter buruk dapat diubah melalui pendidikan
sehingga menjadi baik? Apakah jika seseorang telah membawa karakter baik tidak
perlu dididik akan tetap baik sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun?
Sebaliknya, apakah orang yang
dilahirkan berkarakter buruk akan tetap buruk meskipun diproses dalam wadah
pendidikan? Jika demikian, apakah pendidikan tidak berpengaruh dalam
pembentukan karakter seseorang?
Perdebatan di atas sebenarnya telah
diselesaikan oleh tiga jawaban filosofis dengan corak yang berbeda. Jawaban
pertama, dikemukakan oleh John Locke dengan teori Tabula Rasa melalui
teorinya John Locke mengatakan bahwa setiap anak dilahirkan seperti kertas
putih yang dapat dilukis dengan karakter baik atau buruk. Jawaban Kedua, dikemukakan
oleh Lombrosso dan Schopenhauer dengan teori Nativisme. Melalui teorinya
tersebut mereka menyatakan bahwa setiap karakter seseorang tidak dapat berubah
karena bersifat genetis. Jawaban
ketiga, dikemukakan oleh Wiliam Stren dengan teori Konvergensi. Melalui
teorinya ini ia mengemukakan bahwa karakter seseorang dipengaruhi oleh bawaan
atau genetika dan lingkungan atau pendidikan.[1]
Terlepas dari berbagai jawaban filosofis di atas, pendidikan
karakter di Indonesia mengusung semangat baru dengan optimisme yang penuh untuk
membangun karakter bangsa yang bermartabat. Oleh karena itu, konsep pendidikan
karakter harus mengambil posisi yang jelas bahwa karakteristik seseorang dapat
dibentuk melalui pendidikan.
B.
Pengertian
Pendidikan Karakter
Secara etimologi, kata karakter berasal dari bahasa Yunani Eharassein
yang berarti “to engrave”. Kata “to engrave” itu sendiri dapat
diterjemahkan menjadi mengukir, melukis, memahatkan atau menggoreskan. Arti ini
sama dengan istilah karakter dalam bahasa inggris (character) yang juga
berarti mengukir, melukis, memahatkan atau menggoreskan.
Berbeda dengan bahasa Inggris, dalam
bahasa Indonesia karakter diartikan sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Arti
karakter secara kebahasaan yang lain
adalah huruf, angka, ruang atau symbol khusus yang dapat dimunculkan pada layar
dengan papan ketik. Artinya orang yang berkarakter adalah orang yang berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat atau berwatak tertentu dan watak tersebut yang
membedakan dirinya dengan orang lain.[2]
Secara terminology, menurut Thomas
Lickona pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian
seseorang melalui pendidikan budi pekerti yang hasilnya terlihat dalam tindakan
nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab,
menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Aristoteles berpendapat
bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan
dalam tingkah laku.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru
berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai
hal terkait lainnya.
Membuat peserta didik berkarakter
adalah tugas pendidikan, yang esensinya adalah membangun manusia seutuhnya
yaitu manusia yang baik dan berkarakter. Pengertian baik dan berkarakter
mengacu pada norma yang dianut, yaitu nilai-nilai luhur Pancasila. Seluruh
butir-butir pancasila sepenuhnya terintegrasi ke dalam harkat dan martabat
manusia (HMM). HMM terdiri atas tiga komponen, yaitu hakikat manusia,
pancadaya kemanusiaan dan dimensi
kemanusiaan.[3]
Menurut Ramli, pendidikan karakter
memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak. Tujuannya adalah untuk membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia
yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Oleh karena itu,
hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia itu sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.[4]
Sedangkan Russel Williams, menggambarkan karakter laksana “otot”
yang akan menjadi lembek jika tidak dilatih. Dengan latihan maka “otot-otot”
karakter akan menjadi kuat dan akan terwujud menjadi keniasaan. Orang yang
berkarakter tidak melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan hukuman,
tetapi karena mencintai kebaikan. Karena cinta itulah maka muncul keinginan
untuk berbuat baik.
C.
Tujuan
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter saat ini merupakan topic yang banyak
dibicarakan di kalangan pendidik. Pendidikan karakter diyakini sebagai aspek
penting dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDA), karena turut menentukan
kemajuan suatu bangsa. Karakter masyarakat yang berkualitas perlu dibentuk dan
dibina sejak usia dini, karena usia dini merupakan masa “emas” namun “kritis”
bagi pembentukan karakter seseorang.
Terkait dengan perlunya pendidikan
karakter, adalah Thomas Lickano (seorang profesor pendidikan dari Cortland
University) mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda zaman yang kini terjadi,
tetapi harus diwaspadai karena dapat membawa bangsa menuju jurang kehancuran.
10 tanda itu adalah:
1.
Meningkatnya
kekerasan di kalangan remaja/masyarakat.
2.
Penggunaan
bahasa dan kata-kata yang memburuk/tidak baku.
3.
Pengaruh
per-group (geng) dalam tindak kekerasan yang menguat.
4.
Meningkatnya
perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alcohol dan seks bebas.
5.
Semakin
kaburnya pedoman moral baik dan buruk..
6.
Menurunnya
etos kerja.
7.
Semakin
rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru.
8.
Rendahnya
rasa tanggung jawab individu dan kelompok.
9.
Membudayanya
kebohongan atau ketidakjujuran.
10.
Adanya
rasa saling curiga dan kebencian
Berkaitan dengan hal tersebut maka
pemerintah Indonesia kini sangat gencar mensosialisasikan pendidikan karakter.
Bahkan Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan
karakter untuk semua tingkat pendidikan, mulai dari jenjang pendidikan dasar
hingga perguruan tinggi. Menurut Mendiknas, Muhammad Nuh ketika membuka
pertemuan Pimpinan Pascasarjana, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
se Indonesia di Auditorium Unimed, bahwa pembentukan karakter perlu dilakukan
sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini maka tidak mudah
untuk mengubah karakter seseorang. Mendiknas juga berharap, pendidikan karakter
yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan dapat membangun kepribadian bangsa.[5]
Munculnya gagasan program pendidikan
karakter di Indonesia bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan proses
pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang
berkarakter. Bahkan banyak yang menyebut pendidikan telah “gagal” karena banyak
lulusan lembaga pendidikan Indonesia termasuk sarjana yang pandai dan mahir
dalam menjawab ujian dan berotak cerdas tetapi tidak memiliki mental yang kuat
bahkan mereka cenderung amoral.
Bahkan tak jarang kita menemukan,
para pakar di bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan
tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil
anak-anak diajarkan menghafal tentang sifat-sifat jujur, berani, kerja keras,
kebersihan, dll. Namun semua itu hanya sebatas pengetahuan di atas kertas dan
dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari karena diduga akan keluar dalam
soal ujian.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah
proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan
karakter memerlukan pembiasaan, pembiasaan berbuat baik, berlaku jujur, malu
berbuat curang, malu bersikap malas, dll. Karakter tidak terbentuk secara
instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk
dan kekuatan yang ideal.
Di sinilh bisa kita pahami, mengapa
ada kesenjangan antara praktik pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki
masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang besar disertai
berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar
dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul,
yang beriman, bertaqwa, professional dan berkarakter sebagaimana yang
diinginkan dalam tujuan pendidikan Nasional.
Hamka adalah seorang ilmuan muslim yang sangat terkenal dalam salah
satu tulisannya memberikan gambaran kapada kita tentang sosok individu yang
pandai tapi tidak memilii pribadi (karakter) yang unggul”
“Banyak guru, dokter, hakim dan insinyur, banyak orang yang bukunya
satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba-tiba dalam masyarakat menjadi
“mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya,
diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak
mempunyai cita-cita, lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat,
dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu
kerap kali menimbulkan takutnya dan bukan menimbulkan keberaniannya untuk
memasuki lapangan hidup.”
Maka tidaklah heran jika banyak para
ilmuan yang percaya bahwa karakter suatu bangsa akan sangat terkait dengan
prestasi yang diraih oleh bangsa itu dalam berbagai bidang kehidupan. Di dalam
bukunya Ratna Megawangi mengatakan bahwa kesuksesan Cina dalam menerapkan
pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter
adalah untuk mengukir akhlaq melalui proses pendidikan yang melibatkan aspek
kognitif, emosi dan fisik. Sehingga akhlak mulia dapat terukir menjadi habit
of the mind, heart and hands.[6]
Pendidikan
karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif,
berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya
dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Pendidikan
karakter berfungsi: Pertama, mengembangkan potensi dasar agar berhati
baik, berpikiran baik dan berperilaku baik. Kedua, memperkuat dan
mambangun perilaku bangsa yang multikultur. Ketiga, meningkatkan
peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Selain itu, pendidikan karakter
dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
D.
Penilaian
Karakter
Penilaian karakter dimaksudkan untuk mendeteksi karakter yang
terbentuk dalam diri peserta didik melalui pembelajaran yang telah diikutiya.
Pembentukan karakter memang tidak bisa sim salabim atau terbentuk dalam waktu
singkat, tapi indicator perilaku dapat dideteksi secara dini oleh setiap guru.[7]
Adapun contoh format penilaian karakter dapat dilihat sebagai berikut:
PENILAIAN
KARAKTER PESERTA DIDIK
Jenis
karakter
|
Indikator
Perilaku
|
Bertanggungjawab
|
a.
Melaksanakan
kewajiban
b.
Melaksanakan
tugas sesuai dengan kemampuan
c.
Menaati
tata tertib sekolah
d.
Memelihara
fasilitas sekolah
e.
Menjaga
kebersihan lingkungan
|
[1]
Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013), h. 3-4
[2] Ibid.
5
[3]
Anas Salahudin, Irwanto Alkrienciehie, Pedidikan Karakter, (Bandung:
Setia Pustaka, 2013), h. 43
[4]
Mahmud, Pendidikan Karakter, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 24
[5]
Ibid. 28
[6]
Ibid. Mahmud, h. 30
[7]
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), h. 146-148
No comments:
Post a Comment