PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mendefinisikan
makna ekonomi (economic) tidak terlepas bagaimana kita melakukan
aktivitas transaksi guna memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri, mensejahterakan
keluarga dan membantu orang lain yang membutuhkan baik berupa pangan, sandang
dan papan. Imam Al-Ghazali berpendapat apabila tidak terpenuhi ketiga alasan
ini dapat "dipersalahkan" menurut agama. Konteks ini menganjurkan
untuk kita seimbang dalam melaksanakan perintah Allah SWT dari sisi ibadah (hablumminallah)
dan juga sisi muamalah (hablum minannas).
Dalam
mempertahankan (survive) hidup seseorang diberi keleluasaan dalam
mengambil sikap guna memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Keleluasaan atau
kebebasan merupakan fitrah sebagai manusia dalam mengatur dirinya dalam
memenuhi kebutuhan yang ada. Manusia dapat memaksimalkan dalam rangka memanfaatkan
sumber daya yang ada, bila semua memiliki kesadaran yang sama maka manusia
beramai-ramai melakukan usaha apapun yang lebih sistematis, efisien dan efektif
dalam rangka mengelola sumber daya yang terbatas.
Masalah ekonomi merupakan
masalah yang universal, karenanya seluruh dunia menaruh perhatian yang besar
terhadap permasalahan ekonomi. Dalam realita kehidupan, manusia berusaha
mengerahkan tenaga dan juga pikirannya untuk memenuhi berbagai keperluan
hidupnya, seperti sandang, pangan dan tempat tinggal. Pengerahan tenaga dan
pikiran ini penting untuk menyempurnakan kehidupannya sebagai individu maupun
sebagai seorang anggota suatu masyarakat. Segala kegiatan yang bersangkutan
dengan usaha yang bertujuan untuk memenuhi keperluan ini dinamakan ekonomi.
Islam memandang masalah
ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis, tidak dari sudut pandang sosialis,
dan juga tidak merupakan gabungan dari keduanya. Islam memberikan perlindungan
hak kepemilikan individu, sedangkan untuk kepentingan
masyarakat didukung dan diperkuat, dengan tetap menjaga keseimbangan
kepentingan publik dan individu serta menjaga moralitas.
Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi
kehidupan manusia dan alam semesta.
Islam memperbolehkan
seseorang mencari kekayaan sebanyak mungkin. Islam menghendaki adanya
persamaan, tetapi tidak menghendaki penyamarataan. Kegiatan ekonomi harus
diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu banyak harta dikuasai pribadi. Di
dalam bermuamalah, Islam menganjurkan untuk mengatur muamalah di antara sesama
manusia atas dasar amanah, jujur, adil, dan memberikan kemerdekaan bermuamalah
serta jelas-jelas bebas dari unsur riba. Islam melarang terjadinya pengingkaran
dan pelanggaran larangan-larangan dan menganjurkan untuk memenuhi janji serta
menunaikan amanat.
Ekonomi Islam
bukan saja mempelajari individual sosial tetapi juga tanggung jawab moral
kepada sang pencipta sehingga tidak hanya memberikan keuntungan di dunia
melainkan keuntungan di akhirat juga. Untuk menjamin keselarasan dan
keharmonisan dalam dunia perekonomian guna dapat mengatur hubungan antara
manusia secara keseluruhan,[1]
maka diperlukan rancang bangun sebuah sistem yang utuh yakni prinsip ekonomi
yang bersumber al-qur’an dan al-hadits, sedangkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan teknis terdapat dalam bentuk Ijma, Ijtihad dan Qiyas.
Oleh karena begitu pentingnya persoalan ekonomi
ini, maka kita sebagai umat muslim khususnya hendaklah mengetahui apa saja
prinsip yang terkandung dalam system ekonomi islam itu. Agar kita dapat
menjalankan kehidupan ini sesuai dengan syari’at yang telah Allah tetapkan.
PEMBAHASAN
PRINSIP-PRINSIP UMUM EKONOMI ISLAM
A.
Defenisi
Ekonomi Islam
Pengalaman sistem yang dianut oleh negara Indonesia memiliki dua
kebijakan ekonomi; pertama, masa orde lama (rezim Soekarno) dimana ekonomi
tertutup yang berorietasi Sosialis, dan kedua, masa orde baru (rezim Soeharto)
dengan pendekatan ekonomi terbuka yang berorientasi sama dengan kapitalis.
Keduanya tidak bisa dijalankan secara baik sehingga tidak dapat memberikan
solusi (solution) perbaikan sistem yang membawa kemaslahatan untuk umat.[2]
Maka pantas sebagai salah satu sistem ekonomi yang utuh muncul
kepermukaan walaupun sistem ini telah dilupakan oleh banyak orang, sehingga
pada saat permasalahan global menghantui kita, pemikir-pemikir kontemporer
dalam bidang ekonomi mencari solusi guna kemaslahatan umat didunia. Salah satu
sistem yang utuh tersebut yakni Ekonomi Islam.
Adapun Universitas yang pertama kali
mengajarkan ekonomi Islam serta menjadiakannya mata kuliah adalah Universtas
Al-Azhar pada tahun 1961 M/1381 H pada dua jurusan, yaitu Syariah Islamiyah dan
Tijaroh. Kemudian di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah pada jurusan Ekonomi
Islam, juga pada jurusan Syariah di Makah Mukaromah pada tahun 1964 M/ 1384 H.
Bahkan salah satu hasil keputusan Muktamar Ulama Muslimin yang diadakan di
Kairo tahun 1972 M/ 1392 H memutuskan akan pentingnya pengajaran ilmu ekonomi
Islam pada setiap Univeritas yang terdapat pada Negara Arab khususnya dan dunia
Islam pada umumnya.[3]
Menurut Muhammad Abdul Mannan, “Ekonomi Islam merupakan ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari masalah- masalah ekonomi rakyat yang
diilhami oleh nilai-nilai Islam”.[4]
Menurut M.M. Metwally, “Ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari
perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al
Quran, Hadis, Ijma dan Qiyas”.[5]
Menurut Hasanuzzaman,”Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan
aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam
memperoleh sumber-sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan
memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat”.[6]
Prof. M. Abdul Manan, MA, Ph.D, memberikan definisi ilmu ekonomi
Islam, yaitu ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.[7]
Ilmu ekonomi Islam bukan hanya disebut ilmu pengetahuan positif (positive
science) atau ilmu pengetahuan normatif (normative science) saja,
melainkan kedua mempunyai hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan Sehingga
kita tidak menginjak daerah sekulerisme tersebut.
Sedangkan menurut Mohammad Daud Ali, ekonomi islam adalah kumpulan
dasar-dasar ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an as-Sunnah yang ada
hubungannya dengan urusan ekonomi.[8]
Namun demikian Ekonomi Islam tidak lepas dari terpaan kritik yang
dilakukan oleh sejumlah ekonom. Pada umumnya kritikan tersebut dikelompokkan
oleh Arif, seperti yang dikutip oleh M.Husein Sawit, menjadi tiga kelompok
besar. Pertama, aliran yang mengatakan Ekonomi Islam merupakan penyesuaian
sistem kapitalis atau disebut "the Adjusted Capitalism School".
Kedua, disebut dengan kelompok konvensional atau "the Conventional
School”. Ketiga adalah kelompok perbedaan paham atau "the Sectarian
Diversity School".[9]
B.
Prinsip-prinsip
Umum Ekonomi Islam
Ekonomi Islam,
menurut para pembangun dan pendukungnya, dibangun di atas, atau setidaknya
diwarnai, oleh prinsip-prinsip relijius, berorientasi dunia dan akhirat. Dalam
tataran paradigma seperti ini, para ekonom muslim masih dalam satu kata, atau
setidaknya, tidak ada perbedaan yang berarti.[10]
Pada dasarnya
bangunan ekonomi islam dapat tergambarkan secara jelas dengan gambar di bawah
ini, yang jika diibaratkan sebagai sebuah bangunan sebagaimana divisualisasikan
oleh Adiwarman:
Bangunan
ekonomi islam didasarkan atas lima nilai universal yaitu: Tauhid (keimanan),
‘Adl (keadilan), Nubuwwah (kenabian), Khilafah (pemerintahan),
dan Ma’ad (hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk
menyusun teori-teori ekonomi islam.[11]
Namun teori
yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi system, akan menjadikan ekonomi
islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa memberi dampak pada kehidupan
ekonomi. Karena itu, dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah
tiga prinsip derifatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal system ekonomi
islami. Ketiga prinsip derivative itu adalah multitype ownership, freedom to
act, dan social justice.
Di atas semua
nilai dan prinsip adalah akhlak. Akhlak menempati posisi puncak agar manusia
senantiasa menjadikannya sebagai tujuan islam di muka bumi dan sebagai bentuk
dakwah itu sendiri. Akhlak inilah yang kemudian mendorong terciptanya praktek
ekonomi yang sesuai dengan syariat islam.
Berikut
pejelasan dari lima nilai universal dalam ekonomi islam, yaitu[12]:
1.
Tauhid
Tauhid merupakan fondasi ajaran islam. Dengan
tauhid, manusia menyaksikan bahwa “Tiada satupun yang layak disembah selain
Allah” dan “Tiada pemilik langit, bumi
dan isinya selain dari pada Allah”[13]
karena Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya[14]
dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan sumber daya yang ada.
Karena itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah untuk
“memiliki” untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka.
Dalam islam, segala sesuatu yang ada tidak
diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan.[15]
Tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah kepadanya.[16]
Karena itu segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam dan sumber
daya manusia (mu’amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah.
Karena kepada-nya manusia akan mempertanggung jawabkan segala perbuatan,
termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.
2.
Adl
Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah
satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya
secara zalim. Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi harus memelihara
hokum Allah di bumi, dan menjamin bahwa pemakain segala sumber daya diarahkan
untuk kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat manfaat daripadanya secara
adil dan baik. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat
adil. Islam mendefinisikan adil sebagai “tidak mendzalimi dan tidak didzalimi”.
Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan
untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau
merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkotak-kotak dalam berbagai
golongan. Golongan yang satu akan mendzalimi golongan yang lain, sehingga
terjadi eksploitasi manusia atas manusia. Masing-masing berusaha mendapatkan
hasil yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya.
3.
Nubuwwah
Karena rahman, rahim dan kebijaksanaan allah,
manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena
itu diutuslah para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada
manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan
jalan untuk kembali (taubat) keasal-muasal segala, Allah. Fungi rasul adalah
untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat
keselamatan di sunia dan akhirat. Untuk umat muslim, Allah telah mengirimkan
“manusia model” yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman,
Nabi Muhammad Saw. sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh
manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya, adalah
sebagai berikut:
a)
Siddiq (jujur) ;
b)
Fathanah (kredibilitas) ;
c)
Amanah (tanggung jawab) ; dan
d)
Tabligh (komunikasi dan
terbuka).
Sifat nabi di
atas menjadi acuan bagi aktivitas ekonomi. Sifat di atas juga sangat manusiawi
sehingga dalam ejawantahannya sangat nyata untuk dilakukan. Juga sifat di atas
adalah lambang profesionalitas, prestatif, dan kontributif dalam pelaksanaan
aktivitas ekonomi.[17]
4.
Khilafah
Dalam al-qur’an Allah berfirman bahwa manusia
diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi, artinya untuk menjadi pemimpin dan
pemakmur bumi. Karena itu pada dasarnya setiap manusia adalh pemimpin. Nabi
bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggung jawaban
terhadap yang dipimpinnya”. Ini berlaku bagi semua manusia, baik ia sebagai
individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat atau kepala Negara. Nilai ini
mendasari prinsi kehidupan- kehidupan kolektif manusia dalam islam (siapa
memimpin siapa). Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi
(mu’amalah) antar kelompok-kelompok termasuk dalam bidang ekonomi agar
kekacauan dan keributan dapat dihilangkan atau dikurangi. Firman Allah ta’ala
dalam al-qur’an, “(Yaitu) orang-orang yang jika kami teghkan kedudukan mereka dimuka
bumi, niscaya mereka menyeru berbuat baik dan mencegah dari perbuatan jahat.”
Dalam islam, pemerintah memainkan peran yang
kecil tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah untuk
menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syari’ah, dan untuk
memastikan tidak terjadi terhadap pelangaran hak-hak manusia. Semua ini dalam
kerangka untuk mencapai maqasid al-syar’iyah (tujuan-tujuan syari’ah),
untuk memajukan kesejahteraan manusia. Hal ini dicapai dengan melindungi
keimanan, jiwa, akal, kehormatan dan kekayaan manusia.
5.
Ma’ad
Walaupun seringkali diterjemahkan sebagai
“kebangkitan”, tetapi secara harfiah ma’ad berarti “kembali”. Karena
kita semua akan kembali kepada Allah. Hidup manusia bukan hanya di dunia,
tetapi terus berlanjut hingga alam akhirat. Pandangan yang khas dari seorang
muslim tentang dunia dan akhirat dapat dirumuskan sebagai: “ Dunia adalah
ladang akhirat”. Artinya, dunia adalah wahana bagi manusia untuk bekerja dan
beraktivitas (beramal saleh). Namun demikian, akhirat lebih baik dari pada
dunia. Karena itu Allah melarang untuk terikat pada dunia, sebab jika
dibandingkan dengan kesenangan akhirat, kesenangan dunia tidaklah seberapa.
Kehidupan adalah proses dinamik menuju
peningkatan. Ajaran-ajaran islam memandang kehidupan manusia di dunia ini
sebagai pacuan dengan waktu. Umur manusia sangat terbatas dan banyak sekali
peningkatan yang harus dicapai dalam rentang waktu yang sangat terbatas ini.
Kebaikan dan kesempurnaan sendiri merupakan tujuan-tujuan dalam proses ini.
Nabi saw diceritakan pernah menyuruh seorang penggali kubur untuk memperbaiki
lubang yang dangkal di suatu kuburan meskipun hanya permukaannya saja. Beliau
menetapkan aturan bahwa “Allah menyukai orang yang, bila melakukan sesuatu
melakukannya dengan cara yang sangat baik.”
Jangan membuat mudarat (kesulitan) dan jangan
ada mudarat, (لاضررولاضرار) adalah frasa yang senantiasa diucapkan oleh Nabi saw. Frasa ini berarti
“madarat yang direncanakan secara sadar dan dilakukan oleh seseorang untuk
menyakiti, dan juga yang dilakukan sekedar untuk melukai. Fakta mengenai
madarat yang menyakitkan seseorang perlu mendapatkan perhatian, baik yang
disengaja oleh pelakunya untuk maksud tersebut maupun ynag tidak dimaksudkan
untuk tujuan tersebut. Madarat harus dilenyapkan tanpa mempertimbangkat niat
yang melatarbelakanginya. Namun kita harus cukup realistik dalam mengamati
bahwa menghilangkan “madarat” sama sekali dari kehidupan manusia adalah tidak
mungkin. Madarat itu sendiri selalu tidak diharapkan. Namun bila hal itu
merupakan syarat yang tidak dapat dielakkan adanya, maka ia bisa dibenarkan.”
Kelima nilai yang telah
diuraikan di atas menjadi dasar inspirasi untuk menyusun teori-teori ekonomi
islam. Dari kelima nilai ini kita dapat menurunkan tiga prinsip derivatif ynag
menjadi ciri-ciri sistem ekonomi islam. Prinsip derivatif tersebut adalah:
a) Multitype Ownership (Kepemilikan Multi Jenis)
Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep Multitype
Ownership. Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku
adalah kepemilikan swasta; dalam sistem sosial, kepemilikan negara, sedangkan
dalam islam, berlaku prinsip kepemilikan multi jenis, yakni mengakui
bermacam-macam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, negara atau campuran.
Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik
primer langit, bumi dan seisinya adalah Allah, sedangkan manusia diberi amanah
untuk mengelolanya. Jadi manusia dianggap sebagai pemilik skunder. Dengan
demikian, konsep kepemilikan swasta diakui. Namun untuk menjamin keadilan,
yakni supaya tidak ada proses penzaliman segolongan orang terhadap segolongan
yang lain, maka cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat orang
banyak dikuasai negara. Dengan demikian, kepemilikan negara dan nasionalisasi juga
diakui. Sistem kepemilikan campuran juga mendapat tempat dalam islam, baik
campuran swasta-negara, swasta domestik-asing, atau negara-asing. Semua konsep
ini berasal dari filosofi norma dan nilai-nilai islam.
b) Freedom to act (Kebabasan untuk Bergerak/Usaha)
Ketika menjelaskan nilai nubuwwah, kita sudah sampai pada
kesimpulan bahwa penerapan nilai ini akan melahirkan pribadi-pribadi yang
profesional dalam segala bidang, termasuk bidang ekonomi dan bisnis.
Pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis menjadikan Nabi sebagai teladan dan model dalam
melakukan aktivitasnya. Sifat-sifat Nabi yang dijadikan model tersebut
terangkum ke dalam empat sifat utama, siddiq, amanah, fathonah dan tabhligh.
Sedapat mungkin setiap Muslim harus dapat menyerap sifat-sifat ini agar
menjadi bagian perilakunya sehari-hari dalam segala aspek kehidupan.
Keempat nilai nubuwwah ini bila digabungkan dengan nilai
keadilan dan nilai khilafah (good goverence) akan melahirkan konsep freedom
to act pada setiap muslim, khususnya pelaku bisnis dan ekonomi. Freedom
to act bagi setiap individu akan menciptakan mekanisme pasar dalam
perekonomian. Karena itu, mekanisme pasar adalah keharusan dalam Islam, dengan
syarat tidak ada distorsi (proses penzaliman). Potensi distorsi dikurangi
dengan menghayati nilai keadilan. Penegakan nilai keadilan dalam ekonomi
dilakukan dengan melarang semua mafsadah (segala yang merusak), riba,
gharar dan
maysir. Negara bertugas
menyingkirkan atau paling tidak mengurangi distorsi pasar ini. Dengan demikian,
negara/pemerintah bertindak sebagai wasit yang mengawasi interaksi
pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis dalam wilayah kekuasaannya untuk menjamin
tidak dilanggarnya syariah, supaya tidak ada pihak-pihak yang zalim atau
terzalimi, sehingga tercipta iklim ekonomi dan bisnis yang sehat.
c) Social Justice (Keadilan Sosial)
Gabungan nilai khilafah
dan ma’ad melahirkan prinsip
keadilan sosial. Dalam islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan
kebutuhan dasar rakyatnya dan menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya
dan yang miskin.
Sekarang kita telah
memiliki landasan teori yang kuat, serta prinsip-prinsip sistem ekonomi islam
yang mantap. Namun dua hal ini belum cukup karena teori dan sistem menuntut
adanya manusia yang menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam teori dan
sistem tersebut. Dengan kata lain, harus ada manusia yan berprilaku, berakhlak
secara profesional (ihsan, itqan) dalam bidang ekonomi, baik yang
posisinya sebagai pejabat pemerintah, karena teori yang unggul dan
sistem-sistem ekonomi yang syariah sama sekali bukan merupakan jaminan bahwa
perekonomian umat islam akan otomatis maju. Sistem ekonomi islam hanya memastikan
bahwa tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Tetapi
kinerja bisnis tertanggung pada man behind the gun-nya. Karena itu
pelaku ekonomi dalam kerangka ini dapat saja dipegang oleh umat non-muslim.
Perekonomian umat islam baru dapat maju bila pola pikir dan pola laku muslimin
dan muslimat sudah itqan (tekun) dan ihsan (profesional). Ini
mungkin salah satu rahasia sabda Nabi Saw. “sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak”. Karena akhlak menjadi indikator baik-buruknya manusia.
Baik buruknya perilaku bisnis para pengusaha menentukan sukses-gagalnya bisnis
yang dijalankannya.
Sedangkan menurut Metwally, prinsip-prinsip ekonomi islam itu
secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut[18]:
1.
Dalam
ekonomi islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau
titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefesien dan
seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia,
yaitu untuk diri sendiri dan orang lain. Namun yang terpenting adalah bawa
kegiatan tersebut akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti.
2.
Islam
mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan
alat produksi dan factor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh
kepentingan masyarakat, dan kedua, islam menolak setiap pendapatan yang
diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
3.
Kekuatan
penggerak utama ekonomi islam adalah kerja sama. Seorang muslim, apakah ia
sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya,
harus berpegang pada tuntutan allah swt dalam al-qur’an:
“hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan
bathil, kecuali dengan peedagangan yang dilakukan secara suka sama suka
diantara kalian…”(QS 4: 29)
4.
Pemilikan
kekayaan pribadi harus berperan sebagai capital produktif yang akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al-qur’anmengungkapkan bahwa, “Apa yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk
negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan hanya sekedar di antara orang-orang kaya saja diantara kalian…”(QS 57:
7). Oleh karena itu, system ekom]nomi islam menolak terjadinya akumulasi
kekayaan yang dikuasai beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan system
ekonomi kapitalis, dimana kepemilikan industry didominasi dan dimonopoly dan
oligopoly, tidak terkecuali industry yang merupakan kepentingan umum.
5.
Islam
menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya direncanakan untuk
kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari sunnah Rasulullah yang
menyatakan bahwa, “Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan
api.” Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industry ekstraktif yang ada
hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan, harus
dikelola oleh Negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan
dalam negeri dan industry tidak boleh dikuasai oleh individu.
6.
Seorang
muslim harus takut pada Allah dan hari Akhirat, seperti diuraikan dalam
al-qur’an:
“Dan
takutlah pada hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian
masing-masing diberikan balasan yang sempurna terhadap apa yang telah
dilakukannya. Dan mereka tidak teraniaya…”(QS 2: 281) oleh karena itu,
islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur,
perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.
7.
Seorang
muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab) diwajibkan
membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya
(sebagai sanksi atas penguasaan tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin
dan mereka yang membutuhkan. Menurut pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5%
(dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (Idle assets),
termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak, dan permata,
pendapatan bersih dari transaksi (net earning from transaction), dan 10%
dari pendapatan bersih investasi.
8.
Islam
melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah
pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun
instansi lainnya. Al-qur’an secara bertahap namun jelas dan tegas
memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat dilihat dari turunnya
ayat-ayat al-qur’an secara berturut-turut sebagai berikut:
Pada
tahap pertama dalam surat (30) ar-Rum ayat 39 Allah berfirman:
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
Artinya:
Dan sesuatu
riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Tahap
kedua Allah berfirman dalam surat (4) an-Nisaa’ ayat 160-161 sebagai berikut:
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rß$yd $oYøB§ym öNÍkön=tã BM»t7ÍhsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZÏWx. ÇÊÏÉÈ ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJÏ9r& ÇÊÏÊÈ
Artinya:
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya,
dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Tahap ketiga diturunkan oleh Allah melalui
surat (3) Ali Imran ayat 130 sebagai berikut:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.
Tahap
terakhir larangan riba terdapat dalam surat (2) al-Baqarah ayat 278-279:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& w cqßJÎ=ôàs? wur cqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah,
bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.
Islam
bukan satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman
dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga tidaklah adil. Bahkan
meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani Kuno. Aristoteles
adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk
praktik bunga. Dalam perjanjian lama, larangan riba tercantum dalam Leviticus
25: 27, Deutronomi 23: 19, Exodus 23: 25 dan dalam perjanjian baru dapat
dijumpai dalam Lukas 6:35.
C.
Kesimpulan
Ilmu ekonomi Islam bukan hanya disebut ilmu pengetahuan positif (positive
science) atau ilmu pengetahuan normatif (normative science) saja,
melainkan kedua mempunyai hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan Sehingga
kita tidak menginjak daerah sekulerisme tersebut.
Menurut Mohammad Daud Ali, ekonomi islam adalah kumpulan
dasar-dasar ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an as-Sunnah yang ada
hubungannya dengan urusan ekonomi.
Pada dasarnya
bangunan ekonomi islam dapat tergambarkan secara jelas dengan gambar di bawah
ini, yang jika diibaratkan sebagai sebuah bangunan sebagaimana divisualisasikan
oleh Adiwarman:
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul,
dkk, 2010, Kapita selekta Ekonomi IslamKontemporer, Bandung: Alfabeta.Afzalur
Rahman, 1995, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf)
Arifin, Zainul ,
2009, dasar-dasar manajemen bank
syari’ah, Tangerang: Azkia Publisher
Anto, M.B.
Hendrie, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Jogjakarta : Ekonisia
Iswadi, Muhammad,
Ekonomi Islam: Kajian Konsep Dan
Model Pendekatan, dalam Mazahib, Vol. IV, No. 1, Juni 2007
Mannan, M.Abdul,
1997, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa)
Moehammad, Goenawan,
2000, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Jogjakarta :
UII-Press.
Mujahidin, Akmal,
2013, Ekonomi Islam: Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Zadjuli, Suroso
Imam, “Reformasi Ilmu Pengetahuan dan Perspektif Ekonomi Islam di Indonesia”,
Makalah dipresentasikan Program Doktor Program Studi Ilmu Ekonomi Minat Studi
Ekonomi Islam-Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007
http://syariahkita.wordpress.com/2010/03/25/prinsip-dan-dasar-ekonomi-islam/
http://wahanabelajarekonomiislam.blogspot.com/2012/11/prinsip-prinsip-ekonomi-islam.html
[1]
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 1, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1995), hal.8
[2]
Suroso Imam Zadjuli, “Reformasi Ilmu Pengetahuan dan Perspektif Ekonomi Islam
di Indonesia”, Makalah dipresentasikan Program Doktor Program Studi Ilmu
Ekonomi Minat Studi Ekonomi Islam-Program Pascasarjana Universitas Airlangga,
2007, hal. 3.
[4]
Muhammad Iswadi, Ekonomi Islam: Kajian Konsep Dan Model Pendekatan, dalam Mazahib, Vol.
IV, No. 1, Juni 2007, h. 5
[5]
Muhammad Iswadi, Ibid.
[6]
Muhammad Iswadi, Ibid.
[7]
M.Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa, 1997), hal. 19.
[8]
Abdul Aziz, dkk, 2010, Kapita selekta Ekonomi IslamKontemporer, Bandung:
Alfabeta, h. 18
[9] Goenawan Moehammad, 2000, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam: Suatu Pengantar,
Jogjakarta : UII-Press.
[10]
M.B. Hendrie Anto, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Jogjakarta : Ekonisia,
h.89-93
[11]
Akmal Mujahidin, 2013, Ekonomi Islam: Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan
Pasar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h. 24-25
[12]
Akmal Mujahidin, Ibid., h. 25-33
[13] QS.
Al-Baqarah: 107
[14] QS.
Al-An’am: 2
[15] QS.
Al-Mu’minun: 115
[16] QS.
Adz-Dzariyat: 56
[18]
Zainul arifin, 2009, dasar-dasar manajemen
bank syari’ah, tangerang: azkia publisher, h. 16-19
No comments:
Post a Comment