Thursday, April 19, 2012

Stratifikasi Sosial


A.            Penggolongan Sosial
Dalam tiap masyarakat orang menggolongkan masing-masing dalam berbagai kategori, dari lapisan yang paling atas sampai yang paling bawah. Dengan demikian terjadilah stratifikasi sosial. Ada masyarakat yang mempunyai stratifikasi sosial yang sangat ketat. Seorang lahir dalam golongan tertentu da ia tidak mungkin meningkat ke golongan yang lebih tinggi. Keanggotaanya dalam suatu kategori merupakan faktor utama yang menentukan tinggi pendidikan yang dapat ditempuhnya, jabatan yang dapat didudukinya, orang yang dapat dikawininya dll. Golongan yang ketat seperti ini disebut kasta.
Apabila dalam suatu masyarakat ada yang dihargai, dan setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang diharagai, sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat dapat berupa uang atau benda-benda ynag bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, dll.[1]
Biasanya penggolongan sosial tidak seketat itu akan tetapi fleksibel dengan batas-batas yang agak kabur dan senantiasa dapat mengalami perubahan. Penggolongan disini diartikan sebagai proses setiap individu menggolongkan dirinya sebagai orang yang termasuk dalam suatu lapisan tertentu atau menganggap dirinya berada pada lapisan atas karena merasa mempunyai sesuatu yang banyak atau menganggap dirinya rendah karena merasa bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu yang berharga.[2]
Sifat dari sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat ada  yang tertutup dan terbuka. Yang bersifat tertutup tidak memungkinkan pindahnya seseorang dan lapisan ke lapisan yang lain, baik gerak pindahnya ke atas ataupun kebawah. Keanggotaan lapisan tertutup diperoleh melalui kelahiran. Pada masyarakat yang sistem pelapisannya terbuka, setiap anggota memiliki kesempatan berusaha dengan kecakapannya sendiri untuk naik lapisan sosial, atau kalau tidak beruntung, dan jatuh ke lapisan bawah.[3]
Menurut Soejono Soekanto, di dalam setiap masyarakat dimana pun selalu dan pasti mempunyai suatu yang dihargai. Sorokin mengemukakan stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah kelas tinggi dan kelas rendah.
Ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu :[4]
1.             Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan. Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi, tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang di bawahnya.
2.             Perbedaan dalam gaya idup.
3.             Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya. Sementara itu, seorang yang tidak menduduki jabatan strategis apapun tentu hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin kecil.
Oleh karena itu penggolongan sosial harus dilihat sebagai suatu proses menempatkan dirinya dalam suatu golongan tertentu.
B.             Cara-cara menentukan golongan sosial
Konsep tentang golongan sosila tergantung pada cara seorang menentukan golongan sosial itu. Adanya golongan sosial timbul karena adanya perbedaan status dikalangan anggota masyarakat. Untuk itu menetukan stratifikasi sosial dapat diikuti tiga metode yakni :[5]
1.             Metode objektif
Artinya usaha untuk memilah-milah masyarakat ke dalam beberapa lapisan dialkukan menurut ukuran ukuran yang objektif berupa variabel yang mudah diukur secara kuantitatif.[6]
Stratifikasi ditentukan berdasarkan kriteria objektif antara jumlah pendapatan, lama atau tinggi pendidikan, jenis pekerjaan. Biasanya keterangan demikian terkumpul sewaktu diadakan sensus. Menurut suatu penelitian (1954) di Amerika Serikat dokter menempati kedudukan yang sangat tinggi sama dengan gubernur. Guru sekolah menempati tempat yang lebih rendah dari kapten dll. Yang paling rendah adalah tukang semir sepatu.
2.             Metode subjektif
Artinya munculnya pelapisan sosial dalam masyarakat tidak diukur dengan kriteria-krieteria yang objektif, melainkan dipilih menurut kesadaran subjektif warga masyarakat itu sendiri.[7]
Dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut pandangan anggota masyarakat menilai dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat itu. Kepada mereka diajuka pertanyaan : “Menurut pendapat anda temasuk golongan manakah Saudara dinegara ini?? Golongan atas, menengah atau rendah??”
Contoh metode ini Sekelompok orang karena faktor tertentu (biasanya status) tidak mau disamakan dengan sekelompok yang lain.
3.       Metode reputasi
Artinya pelapisan sosial disusun dengan cara subjek penelitian diminta menilai status sosial dengan jalan menempatkan orang lain tersebut kedalam skala tertentu.
Metode ini dikembangkan oleh W. Lloyd Warner cs. Dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut bagaimana anggota masyarakat itu. Kesulitan penggolongan objektif dan subjektif adalah penggolongan itu sering tidak sesuai dengan tanggapan orang dalam kehidupan sehari-hari yang nyata tentang golongan sosial masing-masing. Contoh metode ini adalah Sekolompok orang merasa minder ( faktor tertentu) apabila bergaul dengan orang kelasnya lebih diatasnya.
Oleh sebab itu W.L Warner mengikuti suatu cara yang realistis yakni memberi kesempatan kepada orang dalam masyarakat itu sendiri untuk menetukan golongan-golongan mana yang terdapat dalam masyarakat itu lalu mengidentifikasikan anggota masing-masing golongan itu. Warner cs banyak menggunakan dasar-dasar diferensiasi penggolangan itu. Metode ini tidak menghiraukan dasar teoritis bagi penggolongan dan berusaha menentukan stratifikasi sosial seperti yang terdapat dalam interaksi yang nyata dikalangan penduduk dengan dasar pikiran bahwa merekalah yang sesungguhnya mengenal golongan itu dalam kenyataan. Metode penggolongan ini tidak dimaksud untuk mencari perbedaan status atau kekuasaan. Orang dalam masyarakat lain mungkin akan mengadakan stratifikasi sosial yang berbeda dengan menggunakan dasar yang berlainan. Dengan sendirinya sukarlah mengadakan perbandingan stratifikasi sosial antara berbagai macam masyarakat.
Peneliti lain menggunakan berbagai kriteria sosial ekonomi untuk membedakan berbagai golongan sosial seperti jabatan, jumlah dan sumber pendapatan, tingkat pendidikan, agama, jenis dan luas rumah dll. Tidak ada satu metode yang secara umum berlaku untuk menentukan golongan sosial dalam berbagai masyarakat di dunia ini. Mungkin juga tak ada kriteria yang sama yang berlaku bagi masyarakat yang berbeda-beda.
Rumah yang bagus, pendapatan yang banyak bagi orang desa belum tentu dianggap rumah bagus atau pendapatan banyak di kota, dan sebagainya. Dalam masyarakat pedesaan sering sukar menentukan stratifikasi sosial yang jelas. Dalam masyarakat lain dapat dibedakan dua golongan atau lebih yang jelas perbadaannya. Mungkin juga akan diperoleh penggolongan sosial yang berbeda-beda dalam masyarakat yang sama bila digunakan kriteria yang berlainan.
Dalam menganalisis masyarakat Warner menemukan enam golongan yakni golongan “upper-epper, lower-upper, upper-midle, lower-midle, upper-lower, lower-lower”. Jadi dapat dibedakan golongan atas, menengah, dan bawah dan tiap golongan terbagi pula dalam dua bagian yakni bagian atas dan bawah sehingga terdapat enam golongan. Besar tiap kelompok tidak sama. Biasanya golongan paling atas kecil jumlah anggotanya.
Stratifikasi sosial dalam masyarakat kita di Indonesia jelas tampak pada zaman feodal dan kolonial, antara lain berdasarkan keturunan . setelah kita merdeka terbentuk stratifikasi lain berdasarkan kedudukan, sumber pendapatan, pendidikan, dll.
Keberatan yang diajukan terhadap metode yang digunakan oleh W.L. Warner  antara lain :
 1.   Metode itu hanya dapat digunakan bila masyarakat itu kecil masyarakat itu kecil sehingga masing-masing saling mengenal.
2.    Dianggap bahwa metode ini tidak menggambarkan struktur stratifikasi sosial yang sebenarnya dalam masyarakat kecil akan tetapi menurut pandangan golongan menengah dan atas yang digunakan sebagai informan utama.
3.    Metode ini tidak cermat dan tidak akan memberikan hasil sama bila diterapkan oleh peneliti lain.
C.             Tingkat Pendidikan dan tingkat golongan sosial
Dalam berbagai studi, tingkat pendidikan tertinggi yang diperoleh seorang digunakan sebagai indeks kedudukan sosialnya. Menurut penelitian memang terdapat korelasi yang tinggi antara kedudukan sosial seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya. Walaupun tingkat sosial seseorang tidak dapat diramalkan sepenuhnya berdasarkan pendidikannya, namun pendidikan tinggi bertalian erat denga kedudukan sosial yang tinggi. Ini tidak berarti bahwa pendidikan tinggi dengan sendirinya menjamin kedudukan sosial yang tinggi.
Korelasi antara pendidikan dan golongan sosial antara lain terjadi oleh sebab anak golongan rendah kebanyakan tidak melanjutkan pelajarannya sampai perguruan tinggi. Orang yang termasuk golongan sosial atas beraspirasi agar anaknya menyelesaikan pendidikan tinggi . jabatan ortu, jumlah dan sumber pendapatan, serta lambang-lambang yang berkaitan dengan status sosial ada kaitannya dengan tingkat pendidikan anak.
Pada tingkat SD belum tampak pengaruh perbedaan golongan sosial, apalagi kalau kewajiban belajar mengharuskan semua anakn memasukinya, akan tetapi pada tingkat Sekolah Menengah apalagi tingkat pendidikan lebih atas maka akan jelas terlihat perbadaan golongan. Perbedaan persentase anak-anak golongan yang berada atau berpangkat makin meningkat dengan bertambah tingginya taraf pendidikan dan usia pelajar. Perbedaan sumber pendapatan juga mempengaruhi harapan orang tua tentang pendidikan anaknya. Sudah selayaknya orang tua yang berada mengahrapkan agar anaknya kelak memasuki perguruan tinggi. Sebaliknya orang tua yang tidak mampu tidak akan mengharapkan pendidikan yang demikian tinggi. Cukuplah bila anak itu sendiri mempunyai kemauan keras untuk melepaskan diri dari pendirian lingkungan dan berusaha sendri denga segenap tenaga untuk melanjutka perguruan tinggi.
Faktor lain yang menghambat anak-anak golongan rendah memasuki perguruan tinggi ialah kurangnya perhatian pendidkan di kalangan orang tua. Banyak anak-anak golongan ini yang berhasrat utuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi akan tetapi dihalangi oleh ketiadaan biaya. Banyak pula anak-anak yang putus sekolahnya karena alasan finansial. Pendidikan memerlukan uang, tidak hanya untuk uang sekolah akan tetapi juga untuk pakaian, buku, transport, dll.


[1]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2010), h.199
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada),h.34
[3] Elly M. Setiadi, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : Kencana Prenada, 2011),h.401
[4] J. Dwi Narwoko, Sosiologi Teks Pengantar dan Penerapan, (Jakarta : Kencana Prenada Group,2004),h.152-154
[5] Prof. Dr. Nasution, MA, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004),h.27
[6] Elly M. Setiadi, opcit,h.440
[7] ibid

No comments: