Thursday, April 19, 2012

Kontribusi Sosiologi Pendidikan


A.        Sistem Persekolahan sebagai Suatu Organisasi Formal
Tempo dulu masyarakat sederhana belum mengenal lembaga-lembaga resmi yang mengatur penyaluran kebutuhankebutuhan hidup mereka. Seiring dengan bergulirnya roda sejarah kehidupan, maka prestasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh manusia menjadi sedemikian kompleks, sehingga pada fase inilah konsep pengetahuan dan kemampuan–kemampuan gemilangnya telah menjadi penentu arah kehidupan di masa yang akan datang.
Beberapa faktor telah melatarbelakangi terbentuknya lembaga-lembaga tertentu untuk mengelola alokasi pemenuhan kebutuhan di antaranya, (1) pertumbuhan jumlah populasi manusia yang mempengaruhi tingkat penguasaan dan ketersediaan sumber daya alam, (2) kompleksnya pranata kebudayaan dan mekanisme pengetahuan beserta teknologi terapan, dan (3) implikasi tingkat akal budi dan mentalitas manusia yang kian rasional.[1]
Secara singkat, terbentuknya lembaga pendidikan merupakan konsekuensi logis dari taraf perkembangan masyarakat yang sudah kompleks. Sehingga untuk mengorganisasikan perangkatperangkat pengetahuan dan keterampilan tidak memungkinkan ditangani secara langsung oleh masing-masing keluarga. Perlunya pihak lain yang secara khusus mengurusi organisasi dan apresiasi pengetahuan serta mengupayakan untuk ditransformasikan kepada para generasi muda agar terjamin kelestariaannya merupakancetak biru kekuatan yang melatarbelakangi berdirinya sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Sekolah sebagai suatu sistem, menurut tinjauan sosiologi memiliki kharakteristik yaitu 1. sistem persekolahan mempunyai suatu tujuan. Tujuan menjadi arah dan mengarahkan sistem sosial bersangkutan, 2. Dalam organisasi persekolahan terdapat suatu arus jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling terkait di dalam rangka mencapai tujuan organisasi.[2]
Keberadaan sekolah yang mewarnai dunia kehidupan manusia saat ini merupakan sebuah keniscayaan peradaban modern yang lekat dengan renik-renik pergulatan ilmu pengetahuan dan aplikasi teknologi mutakhir. Sementara melihat konteks sosial yang terbentuk dapat dijawab pula sekolah juga masuk dalam kategori-kategori organisasi pada umumnya yang mengemban konsekuensi-konsekuensi organisatoris.
Organisasi formal sistem persekolahan, sebenarnya kabur tujuan, dan bahkan tergolong membingungkan. Situasi agak berbeda bila dibandingkan dengan organisasi formal sistem persekolahan. Kata-kata “untuk mendidik anak-anak” merupakan pernyataan kabur yang kurang berarti, kecuali kalau tujuan pendidikan tersebut lebih spesifik.[3]
Kompleks pertentangan tersebut merupakan derivasi dari perangkat-perangkat manusia yang memiliki peran-peran spesifik di lembaga sekolah. Banyak buku teks yang mengemukakan tentang peranan guru dan adminsitratur pendidikan seolah-olah harmonis dan serba sinergis. Padahal kenyataan membuktikan, salah satu faktor yang memberatkan kerja organisasi adalah gejala kesalahpahaman untuk memahami kawan sekerja berkenaan dengan hak dan kewajiban yang berbeda sesuai dengan status pekerjaannya.
Kecenderungan yang terjadi, hampir semua tanggung jawab dan tugas sekolah yang berhubungan dengan siswa selalu dilimpahkan kepada seorang guru. Sedangkan pemberitaan fungsi-fungsi peran yang berbeda baik dari aspek bimbingan konseling, pelayanan birokrasi dan keuangan, serta peran penegak ketertiban dan kedisplinan tidak pernah tersiar secara utuh kepada para siswa.
Para praktisi pendidikan perlu menyadari bahwa sumber pokok kontraversi dikalangan mereka serta adanya kesamaan pendapat mengenai batasan peranan para pemegang posisi pendidikan, juga tampil sebagai suatu yang patut diragukan.
Ketegangan-ketegangan di dalam sistem persekolahan, bisa jadi bersumber dari adanya perselisihan pendapat di antara para pemegang posisi kependidikan mengenai hak dan kewajiban masing-masing, serta adanya konflik intern yang berlangsung di dalam dirinya berbagai posisi jabatan kependidikan.
Yang dimaksud konflik intern adalah konflik harapan dari pihak lainnya yang dihadapkan pada para pemegang satu posisi tertentu. Misalnya, beberapa guru mengharapakan kepala sekolahnya membawa setiap masalah sekolah ke dalam rapat dewan guru, sedangkan sebagian lainnya tidak mengharapkan membuka semua permasalahan di forum rapat dewan guru.
Dalam analisis sosiologis, konflik peranan di lingkup internal sekolah disebabkan pada rangkaian hak dan kewajiban yang mempengaruhi harapan para pemegang status pekerjaan.[4] Dalam waktu yang sama kepala sekolah mengharapkan para guru selalu tertib dalam melaksanakan pengajaran.
Sementara guru sendiri selalu berkeinginan memberikan ragam materi yang selengkap-lengkapnya kepada para siswa. Hal ini tentu bertentangan dengan asumsi umum para siswa yang jelas-jelas berharap agar para guru tidak terlalu banyak menyodorkan materi yang harus mereka hafalkan. Hal tersebut tentunya semakin menjauhkan kesadaran warga sekolah mengenai hakikat mendasar dari fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Mereka semakin jauh terjerumus pada labirin-labirin pertentangan seputar ritual-ritual teknis pemenuhan kebutuhan organisasional. Dari sini tujuan awal penerapan adminstrasi pendidikan untuk mempermudah lembaga sekolah dalam menjalankan fungsi-fungsi edukatif beralih menjadi raksasa permasalahan yang selalu menggelayuti mentalitas warganya.
Tentu saja dalam hal ini sumbangsih teori sosiologi cukup strategis guna memberikan gambaran komperhensif tentang gurita konflik yang terbentuk di lingkungan sekolah dalam kaitan pertentangan antarperan. Dengan begitu, para praktisi pendidikan diharapkan memiliki bahan mentah yang lengkap mengenai polapola sosial yang tersusun di dunia pendidikan formal beserta varian-varian permasalahannya.
Untuk diingat, memandang sekolah sebagai suatu organisasi formal dari kacamata sosiologis mengisyaratkan adanya rintangan organisasi yang besar untuk bisa berfungsi secara efektif. Ada 2 faktor penyebabnya yaitu : kurangnya kata persetujuan mengenai tujuan organisasi sekolah itu sendiri, dan kurangnya kesepakatan tentang batasan peranan dari masing-masing pemegang posisi kependidikan.[5]
B.        Kegiatan Kelas sebagai Suatu Sistem Sosial
Pada dasarnya, proses-proses pendidikan yang sesungguhnya adalah interaksi kegiatan yang berlangsung di ruang kelas. Untuk keperluan tersebut pembahasan mengenai kegiatan kelas menempati sub-topik tersendiri dalam susunan kajian topik ini. Dari sudut sosiologi beberapa pendekatan telah digunakan sebagai alat analisis untuk mengamati proses-proses yang terjadi di ruang kelas.
Berdasarkan pandangan mengenai fungsi proses belajar di kelas terdapat kegiatan kelas yang mengandung sistem sosial, yaitu :
1.             Kompetisi/persaingan
Analisis Coleman tentang struktur kompetisi beserta pengaruhnya terhadap prestsi belajar, secara nyata mempunyai implikasi untuk mengisolasikan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi “hasil belajar” suatu kelas. [6]
2.             Sosio metrik (suka/tidak suka)
Dalam hubungan ini, kontribusi empiris utama dari para sosiologi adalah struktur sosiometrik di kelas, dan memilih sumber-sumber tekanan dan ketegangan yang dihadapi guru-guru dikelas. Dalam hubungannya kepala sekolah pemegang kekuasaan di sekolah sudah tentu perlu mengawasi, mengkoordinasi, dan memadukan semua kegiatan yang berlangsung di sekolah, termasuk juga terhadap sajian pelajaran yang diberikan harus sesuai dan persis dengan kurikulum. Guru dituntut untuk bekerja sebagaimana budak dalam kurikulum dan tidak memberikan kebebasan pada guru dalam mengajar. Jika tidak sama dengan kurikulum, maka kepala sekolah bisa memberikan sanksi-sanksi tertentu. Seharusnya para guru memiliki kebebasaan yang sepantasnya mengenai pengembangan proses pembelajaran di kelas. Adanya kekuasaan tersebut merupakan sumber kekecewaan para guru dan itu dapat mengacaukan pengajaran di kelas karena adanya jarak sosial dan hubungan yang kurang erat antar guru dan kepala sekolah.
3.             Konflik (guru dgn murid) norma anak yang menyendiri
Sumber ketegangan lain adanya perbedaan norma antara yang dianut guru-guru dengan norma yang dianut siswa didalam hubungannya dengan perilaku siswa. Adanya kerangka acuan yang berbeda antara guru dan murid memang terjadi pada kebanyakan kelas.
Para guru mengharapkan murid berprestasi sebaik mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki, namun para siswa tidak seberapa tahu dengan apa yang menjadi harapan pengajaran tadi. Dan tidak adanya kebermaknaan dalam proses pembelajaran. Para siswa lebih berorientasi pada nilai-nilai dikalangan mereka sendiri daripada secara semangat mengikuti apa yang diinginkan guru.
Telaah sosiometrik mengungkapkan bahwa ruang kelas, didalamnya terdapat anak-anak idiola dan penyendiri; mengenai para guru hasil penelitian menunjukkkan bahwa kerapkali guru tidak mengetahui hubungan-hubungan antar pribadi dikelas.
Mereka tidak menunjukkan kepekaan yang tinggi mengenai bagaimana sesungguhnya para muridnya berinteraksi diantara satu dengan yang lainnya, dan mereka sering kali membiarkan pribadinya bias dalam menghadapi para siswanya ketimbang menggunakan sumber-sumber potensial yang menyebabkan ketegangan kejiwaan guru pengajar di kelas, salah satunya karena benturan antara struktur otoritas sekolah dengan status profesional guru itu sendiri.
Anak-anak penyendiri dikalangan teman-teman sekelasnya, ditunjukan betapa besar pengaruh kekuatan kelompok teman sekelas terhadap anak-anak penyendiri tersebut. Rintangan untuk menyembuhkan kemenyendirian tersebut bukanlah terletak didalam anak itu sendiri, tetapi malah di dalam konteks kelas itu sendiri. Implikasi penting seharusnya guru dapat dan petugas konseling dapat mensikapi anak penyendiri. Selama ini hanya ditangani dengan bimbingan individual padahal sebenarnya iklim kelempoklah penyembuhan anak penyendiri tersebut. Unutk itu guru harus dapat mengeksplorasikan bagaimana adanya kehidupan kelas sebagai suatu sistem sosial yang baik.
Jadi guru seharusnya berupaya bisa seefektif mungkin dalam mendidik siswanya dan  bisa membendung kekuatan kelompok yang bisa mengacaukan arah pembinaan anak didik serta berupaya mengubah nilai-nilai dan normayang kurang sehat di kalangan paara siswa itu sendiri.
C.        Lingkungan Eksternal Persekolahan
Kita tahu bahwa sekolah bernaung dalam suatu wilayah eksternal yang dihuni oleh kumpulan manusia bernama masyarakat. Gejala timbal balik baik dari sekolah kepada masyarakat maupun sebaliknya merupakan realitas keseharian yang akan selalu terjadi. Keberadaan sekolah di lingkungan masyarakat kota akan jelas mempengaruhi orientasi pendidikan tersebut dibanding dengan sekolah yang terletak di pedesaan. Baik dari segi kuantitas peserta didik, maupun kompleksitas kegiatan yang terjadwal pada kegiatan-kegiatan akademik di sekolah.
Selain itu aspek kelas sosial juga memberikan pengaruh evaluasi belajar yang dilakukan oleh seorang guru. Hasil sebuah pengamatan ilmiah menegaskan ada hubungan kuat antara status orang tua siswa dengan prestasi akademis. Selain itu mobilitas aspirasi siswa, kecenderungan putus sekolah, partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, tingkah laku pacaran siswa serta pola persahabatan di kalanngan siswa tampaknya juga dipengaruhi oleh karakter sosial ekonomis orang tua siswa.[7]
Berikut ini beberapa implikasi yang menyebabkan terjadinya kontribusi, yaitu :
1.             Adanya perubahan-perubahan demografis di dalam sistem sosial yang lebih besar ( masyarakat ).
Secara material akan mempengaruhi komposisi kesiswaan pada suatu sistem persekolahan , dan karenanya mungkin sekali menuntun adanya modifikasi-modifikasi kurikulum.[8] Derasnya arus urbanisasi dari desa ke kota membawa pengaruh penting terhadap jumlah mereka yang membutuhkan persekolahan sehingga hal ini menyebabkan sekolah-sekolah di desa menjadi sepi murid sedangkan di sisi lain sekolah-sekolah di kota bisa tidak muat menampung arus peminat sekolah. [9]
Hal ini mengungkapkan betapa pentingnya suatu pendekatan tersendiri di dalam perencanaan persekolahan, baik untuk wilayah pedesaan maupun untuk wilayah perkotaan dan hal ini masih jarang di perhatikan.
2.             Struktur kelas sosial di masyarakat.
Kebanyakan aspek-aspek dalam penunaian fungsi persekolahan di pengaruhi oleh fenomena kelas sosial. [10]
3.             Struktur kekuasaan di masyarakat.
Pengelolaan program pendidikan di sekolah-sekolah membutuhkan topangan dana yang tidak sedikit dan hal tersebut mempengaruhi mutu pendidkan.[11]
4.             Penganalisaan mengenai rantai penghubung antara sekolah dengan masyarakat.
Penelitian sosiologis telah menunjukkan pengaruh dari tingkah laku para anggota Badan Pertimbangan Sekolah dan motivasinya untuk menduduki jabatan tersebut terhadap penampilan dan kepuasan kerja para penilik Kepala. Pengaruh faktor-faktor lain, seperti agama, pekerjaan, dan penghasilan terhadap para anggota badan Pertimbangan Sekolah juga ikut diteliti. Begitu pula halnya dengan tekanan dari anggota badan Pertimbangan Sekolah terhadap para administrator pendidikan. [12]
5.             Benturan konflik antarperan tenaga kependidikan dengan posisi-posisi lain di masyarakat.
Getzel dan Guba menemukan bahwa banyak harapan-harapan yang terkait dengan posisi guru, pada kenyataannya telah berbenturan dengan harapan posisi lain di luar persekolahan.[13]
Melalaui analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa secara realistis peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan kekuatan analisis-analisis sosiologis para praktisi pendidikan bisa lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan personal di lingkungan kerjanya masing-masing.



[2] Drs. Sanapiah Faisah, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional)h.66-67
[3] ibid
[5] Drs. Sanapiah, opcit, h.72
[6] Drs.Sanapiah, opcit, h.73
[8] Drs.Sanapiah, opcit, h.76
[10] ibid
[11] ibid
[12] ibid
[13] Drs.Sanapiah,opcit,  h.78

No comments: