Thursday, April 19, 2012

Model Pembelajaran Kontuktivisme


A.   Pengertian Model Pembelajaran Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan pendekatan multidisipler. Kontruktivisme hampir bisa dikatakan bukan suatu mazhab pemikiran baru. Jean Piaget dan Lev Vygotsty, nama-nama yang tetap dihubungkan dengan kontruktivis, sama sekali bukan orang baru dalam panggung studi bahasa.
Beberapa pengertian model menurut beberapa ahli adalah
1.   Menurut Agus Suprijono, model adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial.
2.   Menurut Mills : “model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses actual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu”
3.             Menurut kamus besar bahasa Indonesia, model adalah contoh, pola, acuan.
Beberapa pengertian pembelajaran menurut beberapa ahli adalah :
1.           Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, pembelajaran adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.
2.            Menurut James O.Whittaker, belajar adalah proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui pengalaman.
3.           Menurut Cronchbach, belajar adalah suatu aktitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Sedangkan kontruktivisme berasal dari kata Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dari pengertian diatas dapat kita ketahui model pembelajaran kontruktivisme memperlihatkan bahwa pembelajaran merupakan proses aktif dalam membuat sebuah pengalaman menjadi akal, dan proses ini sangat dipengaruhi oleh apa yang sudah diketahui orang sebelumnya.
Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan indranya. Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungan, misalnya dengan melihat, mendengar, menjamah, membau, atau merasakan,seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan proses pembentukan. Semakin banyak seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan, pengetahuan dan pemahamannya akan objek dan lingkungan akan meningkat dan lebih rinci.
Pendekatan konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pemikiran pelajar. Pengetahuan dikembangkan secara aktif oleh pelajar itu sendiri dan tidak diterima secara pasif dari orang disekitarnya. Hal ini bermakna bahwa pembelajaran merupakan hasil dari usaha pelajar itu sendiri dan bukan hanya ditransfer dari guru kepada pelajar. Hal tersebut berarti siswa tidak lagi berpegang pada konsep pengajaran dan pembelajaran yang  lama, dimana guru hanya menuangkan atau mentransfer ilmu kepada siswa tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari siswa itu sendiri.
B.    Ciri-ciri Konstruktivisme
1.       Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
Guru hanya dapat mengarahkan murid untuk dapat memahami pembelajaran, akan tetapi muridlah yang mencerna dan membuat pengetahuan itu menjadi masuk akal olehnya.
2.       Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
Dalam hal ini guru berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh murid berjalan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang dimilikinya, melainkan membantu murid untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
3.       Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
Pengetahuan murid tidak dapat diperoleh secara instan, murid harus dapat mengembangkan pikirannya sendiri secara terus menerus melalui pengalaman dan mengaitkannya dengan pengetahuan sebelumnya. Sehingga perubahan konsep ilmiah pun terjadi .
4.       Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5.       Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
C.         Beberapa Prinsip yang Harus Diperhatikan dalam Model Kontruktivisme
1.             Peserta didik harus selalu aktif selama pembelajaran. Proses aktif ini adalah proses membuat segala sesuatu masuk akal.
2.             Proses berpikir selalu dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya. Apabila seseorang belum memiliki pengetahuan sebelumnya maka orang itu akan kesulitan untuk mencerna pengetahuan yang baru.
3.             Proses berpikir dibantu oleh metode intruksi yang memungkinkan bertukar pikiran, melalui diskusi, tanya jawab, dll.
4.             Tanya jawab didorong oleh kegiatan ingin tahu para peserta didik. Jadi, kalau peserta didik tidak bertanya tidak bicara, berarti peserta didik tidak belajar secara optimal.
5.             Kegiatan belajar mengajar tidak hanya merupakan suatu proses pengalihan pengetahuan, tapi juga pengalihan keterampilan dan kemampuan.
D.            Metode Pembelajaran Model Kontruktivisme
Metode pembelajaran yang menunjang pelaksanaan model kontruktivisme adalah active learning seperti role playing. Active playing (belajar aktif), interpretation (penafsiran), make sense (masuk akal), negotiation (pertukaran pikiran), cooperative (kerjasama), dan inquiry (menyelidik).
Strategi pokok dari model belajar mengajar kontruktivisme adalah meaningful learning, yang mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran, bukan sekedar mendengar, menerima dan mengingat-ingat. Setiap unsur materi pelajaran harus diolah dan diinterprestasikan sedemikian rupa sehingga masuk akal. Pengetahuan baru terbentuk dari sesuatu yang masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak akan menempel lama dalam pikiran.
Beberapa strategi active learning :
1.             Pusat kegiatan belajar adalah peserta didik yang aktif
Peserta didik harus aktif karena peserta didik adalah pusat dari kegiatan belajar mengajar. Peserta harus dilibatkan dalam tanya jawab yang terarah. Peserta harus bisa bertanya serta dapat mencari solusi dari permasalahan. Peserta didik didorong untuk dapat menerima informasi dari pendidik dan membuatnya masuk akal didalam pikiran peserta didik sendiri. Strategi seperti ini memerlukan waktu yang cukup panjang, dan perlunya tanya jawab, pertukaran pikiran, diskusi, dan perdebatan agar dapat mencapai pengertian yang sama.
2.             Pembelajaran dimulai yang diketahui siswa
Setiap pembelajaran yang baru harus dikaitkan dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada sebelumnya. Karena itulah kegiatan belajar mengajar harus dimulai dari hal yang telah diketahui sebelumnya agar materi yang baru dapat diterima peserta didik dengan mudah.
3.             Bangkitkan motivasi belajar peserta didik dengan membuat materi lebih menarik dan berguna dalam kehidupan peserta didik
Peran pendidik dalam menggunakan strategi pembelajaran sangat berpengaruh untuk memotivasi belajar peserta didik. Dan motivasi tersebut harus dapat meyakinkan peserta didik agar menerapkannya dalam kehidupan dan sangat berguna bagi kehidupan. Disamping itu, pendidik harus lebih pandai memilih metode yang pantas dipakai dalam setiap pembelajaran sehingga pembelajaran lebih menarik dan tidak membosankan.
Pemanasan – apersepsi
1.             Pelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami peserta didik.
2.             Motivasi peserta didik dengan bahan ajar yang menarik dan berguna bagi peserta didik.
Fokus dalam proses ini adalah menempatkan berbagai usaha siswa untuk memahami pembentukan pembelajaran dalam pendidikan. Kesadaran yang timbul pada diri siswa, bukan berarti guru melonggarkan tanggungjawabnya untuk memberikan pengarahan atau bimbingan.
3.             Peserta didik didorong agar tertarik untuk mengetahui hal-hal yang baru.
Eksplorasi
1.             Materi/keterampilan baru diperkenalkan
2.             Kaitkan materi dengan pengetahuan yang sudah ada pada peserta didik
Menurut pandangan ahli konstruktivisme, setiap siswa mempunyai  peranan dalam menentukan apa yang dipelajari. Penekanan diberi kepada siswa agar dapat membentuk kemahiran dan pengetahuan yaitu dengan mengaitkan pengalaman yang terdahulu dengan kegunaannya di masa depan. Siswa tidak hanya diberikan penekanan terhadap fakta atau konsep tetapi juga diberikan penekanan terhadap proses berpikir serta kemahiran berkomunikasi.
3.             Cari metodologi yang paling tepat dalam meningkatkan penerimaan peserta didik terhadap materi baru tersebut.
Konsolidasi Pembelajaran
1.             Libatkan peserta didik secara aktif dalam menafsirkan dan memahami materi ajaran baru.
Peserta didik dipengaruhi oleh pengetahuannya yang berada dalam diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara satu dengan lainnya, berpikir secara kritis tentang cara terbaik menyelesaikan setiap masalah. Pendidik tidak mengajarkan kepada anaknya bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan mendorong (encourage) siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan.
Pada saat peserta didik memberikan jawaban, pendidik mencoba untuk tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun pendidik mendorong peserta didik untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akal peserta didik.
2.             Libatkan siswa secara aktif.
3.             Letakkan penekanan pada kaitan antara materi ajar yang baru dengan berbagai aspek kegiatan kehidupan.
4.             Cari metodologi yang paling tepat agar terjadi perubahan pada sikap dan perilaku peserta didik.
Penilaian Formatif
1.             Kembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran peserta didik.
2.             Gunakan hasil penilaian tersebut untuk melihat kelemahan peserta didik dari masalah-masalah yang dihadapi pendidik.
3.             Cari metode yang tepat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
F.       Aplikasi dan Implikasi dalam Pembelajaran
a.       Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada sisiwa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yangkeras para sisiwa sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
b.       Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi para siswa bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka kognitifnya
c.       Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
d.       Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
e.       Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
f.       Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
g.       Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.[16]



G.       Kelebihan dan Kekurangan Konstruktivisme
a. Kelebihan
Murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, mencana idea dan membuat keputusan. Faham karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi. Selian itu murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru; Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri; Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya; Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap; Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri; Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
b. Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung; siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya; perlunya waktu yang banyak dalam model ini.


[1] H.Douglas Brown, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, (Person Education,Inc,2008)h.13
[2] http://zonainfosemua.blogspot.com/2010/11/pengertian-model-pembelajaran-dari.html
[3] Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta : Pustaka Amani)h.254
[4] Ibid,h.30
[5] Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar, (Rineka Cipta,1999)
[6] http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/24/teori-belajar-konstruktivisme/
[7] Dr.C.Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005)h.57
[8] http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/24/teori-belajar-konstruktivisme/
[9] Prof.Dr.Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Kalam Mulia,2010)h.212
[10] ibid
[11] Ibid, h.213
[12] Ibid, h.214
[14] Ramayulis, opcit, h.214
[15] Ibid, h.215
[16] edukasi.kompasiana.com/2011/10/24/teori-belajar-konstruktivisme/

Stratifikasi Sosial


A.            Penggolongan Sosial
Dalam tiap masyarakat orang menggolongkan masing-masing dalam berbagai kategori, dari lapisan yang paling atas sampai yang paling bawah. Dengan demikian terjadilah stratifikasi sosial. Ada masyarakat yang mempunyai stratifikasi sosial yang sangat ketat. Seorang lahir dalam golongan tertentu da ia tidak mungkin meningkat ke golongan yang lebih tinggi. Keanggotaanya dalam suatu kategori merupakan faktor utama yang menentukan tinggi pendidikan yang dapat ditempuhnya, jabatan yang dapat didudukinya, orang yang dapat dikawininya dll. Golongan yang ketat seperti ini disebut kasta.
Apabila dalam suatu masyarakat ada yang dihargai, dan setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang diharagai, sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat dapat berupa uang atau benda-benda ynag bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, dll.[1]
Biasanya penggolongan sosial tidak seketat itu akan tetapi fleksibel dengan batas-batas yang agak kabur dan senantiasa dapat mengalami perubahan. Penggolongan disini diartikan sebagai proses setiap individu menggolongkan dirinya sebagai orang yang termasuk dalam suatu lapisan tertentu atau menganggap dirinya berada pada lapisan atas karena merasa mempunyai sesuatu yang banyak atau menganggap dirinya rendah karena merasa bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu yang berharga.[2]
Sifat dari sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat ada  yang tertutup dan terbuka. Yang bersifat tertutup tidak memungkinkan pindahnya seseorang dan lapisan ke lapisan yang lain, baik gerak pindahnya ke atas ataupun kebawah. Keanggotaan lapisan tertutup diperoleh melalui kelahiran. Pada masyarakat yang sistem pelapisannya terbuka, setiap anggota memiliki kesempatan berusaha dengan kecakapannya sendiri untuk naik lapisan sosial, atau kalau tidak beruntung, dan jatuh ke lapisan bawah.[3]
Menurut Soejono Soekanto, di dalam setiap masyarakat dimana pun selalu dan pasti mempunyai suatu yang dihargai. Sorokin mengemukakan stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah kelas tinggi dan kelas rendah.
Ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu :[4]
1.             Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan. Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi, tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang di bawahnya.
2.             Perbedaan dalam gaya idup.
3.             Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya. Sementara itu, seorang yang tidak menduduki jabatan strategis apapun tentu hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin kecil.
Oleh karena itu penggolongan sosial harus dilihat sebagai suatu proses menempatkan dirinya dalam suatu golongan tertentu.
B.             Cara-cara menentukan golongan sosial
Konsep tentang golongan sosila tergantung pada cara seorang menentukan golongan sosial itu. Adanya golongan sosial timbul karena adanya perbedaan status dikalangan anggota masyarakat. Untuk itu menetukan stratifikasi sosial dapat diikuti tiga metode yakni :[5]
1.             Metode objektif
Artinya usaha untuk memilah-milah masyarakat ke dalam beberapa lapisan dialkukan menurut ukuran ukuran yang objektif berupa variabel yang mudah diukur secara kuantitatif.[6]
Stratifikasi ditentukan berdasarkan kriteria objektif antara jumlah pendapatan, lama atau tinggi pendidikan, jenis pekerjaan. Biasanya keterangan demikian terkumpul sewaktu diadakan sensus. Menurut suatu penelitian (1954) di Amerika Serikat dokter menempati kedudukan yang sangat tinggi sama dengan gubernur. Guru sekolah menempati tempat yang lebih rendah dari kapten dll. Yang paling rendah adalah tukang semir sepatu.
2.             Metode subjektif
Artinya munculnya pelapisan sosial dalam masyarakat tidak diukur dengan kriteria-krieteria yang objektif, melainkan dipilih menurut kesadaran subjektif warga masyarakat itu sendiri.[7]
Dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut pandangan anggota masyarakat menilai dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat itu. Kepada mereka diajuka pertanyaan : “Menurut pendapat anda temasuk golongan manakah Saudara dinegara ini?? Golongan atas, menengah atau rendah??”
Contoh metode ini Sekelompok orang karena faktor tertentu (biasanya status) tidak mau disamakan dengan sekelompok yang lain.
3.       Metode reputasi
Artinya pelapisan sosial disusun dengan cara subjek penelitian diminta menilai status sosial dengan jalan menempatkan orang lain tersebut kedalam skala tertentu.
Metode ini dikembangkan oleh W. Lloyd Warner cs. Dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut bagaimana anggota masyarakat itu. Kesulitan penggolongan objektif dan subjektif adalah penggolongan itu sering tidak sesuai dengan tanggapan orang dalam kehidupan sehari-hari yang nyata tentang golongan sosial masing-masing. Contoh metode ini adalah Sekolompok orang merasa minder ( faktor tertentu) apabila bergaul dengan orang kelasnya lebih diatasnya.
Oleh sebab itu W.L Warner mengikuti suatu cara yang realistis yakni memberi kesempatan kepada orang dalam masyarakat itu sendiri untuk menetukan golongan-golongan mana yang terdapat dalam masyarakat itu lalu mengidentifikasikan anggota masing-masing golongan itu. Warner cs banyak menggunakan dasar-dasar diferensiasi penggolangan itu. Metode ini tidak menghiraukan dasar teoritis bagi penggolongan dan berusaha menentukan stratifikasi sosial seperti yang terdapat dalam interaksi yang nyata dikalangan penduduk dengan dasar pikiran bahwa merekalah yang sesungguhnya mengenal golongan itu dalam kenyataan. Metode penggolongan ini tidak dimaksud untuk mencari perbedaan status atau kekuasaan. Orang dalam masyarakat lain mungkin akan mengadakan stratifikasi sosial yang berbeda dengan menggunakan dasar yang berlainan. Dengan sendirinya sukarlah mengadakan perbandingan stratifikasi sosial antara berbagai macam masyarakat.
Peneliti lain menggunakan berbagai kriteria sosial ekonomi untuk membedakan berbagai golongan sosial seperti jabatan, jumlah dan sumber pendapatan, tingkat pendidikan, agama, jenis dan luas rumah dll. Tidak ada satu metode yang secara umum berlaku untuk menentukan golongan sosial dalam berbagai masyarakat di dunia ini. Mungkin juga tak ada kriteria yang sama yang berlaku bagi masyarakat yang berbeda-beda.
Rumah yang bagus, pendapatan yang banyak bagi orang desa belum tentu dianggap rumah bagus atau pendapatan banyak di kota, dan sebagainya. Dalam masyarakat pedesaan sering sukar menentukan stratifikasi sosial yang jelas. Dalam masyarakat lain dapat dibedakan dua golongan atau lebih yang jelas perbadaannya. Mungkin juga akan diperoleh penggolongan sosial yang berbeda-beda dalam masyarakat yang sama bila digunakan kriteria yang berlainan.
Dalam menganalisis masyarakat Warner menemukan enam golongan yakni golongan “upper-epper, lower-upper, upper-midle, lower-midle, upper-lower, lower-lower”. Jadi dapat dibedakan golongan atas, menengah, dan bawah dan tiap golongan terbagi pula dalam dua bagian yakni bagian atas dan bawah sehingga terdapat enam golongan. Besar tiap kelompok tidak sama. Biasanya golongan paling atas kecil jumlah anggotanya.
Stratifikasi sosial dalam masyarakat kita di Indonesia jelas tampak pada zaman feodal dan kolonial, antara lain berdasarkan keturunan . setelah kita merdeka terbentuk stratifikasi lain berdasarkan kedudukan, sumber pendapatan, pendidikan, dll.
Keberatan yang diajukan terhadap metode yang digunakan oleh W.L. Warner  antara lain :
 1.   Metode itu hanya dapat digunakan bila masyarakat itu kecil masyarakat itu kecil sehingga masing-masing saling mengenal.
2.    Dianggap bahwa metode ini tidak menggambarkan struktur stratifikasi sosial yang sebenarnya dalam masyarakat kecil akan tetapi menurut pandangan golongan menengah dan atas yang digunakan sebagai informan utama.
3.    Metode ini tidak cermat dan tidak akan memberikan hasil sama bila diterapkan oleh peneliti lain.
C.             Tingkat Pendidikan dan tingkat golongan sosial
Dalam berbagai studi, tingkat pendidikan tertinggi yang diperoleh seorang digunakan sebagai indeks kedudukan sosialnya. Menurut penelitian memang terdapat korelasi yang tinggi antara kedudukan sosial seseorang dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuhnya. Walaupun tingkat sosial seseorang tidak dapat diramalkan sepenuhnya berdasarkan pendidikannya, namun pendidikan tinggi bertalian erat denga kedudukan sosial yang tinggi. Ini tidak berarti bahwa pendidikan tinggi dengan sendirinya menjamin kedudukan sosial yang tinggi.
Korelasi antara pendidikan dan golongan sosial antara lain terjadi oleh sebab anak golongan rendah kebanyakan tidak melanjutkan pelajarannya sampai perguruan tinggi. Orang yang termasuk golongan sosial atas beraspirasi agar anaknya menyelesaikan pendidikan tinggi . jabatan ortu, jumlah dan sumber pendapatan, serta lambang-lambang yang berkaitan dengan status sosial ada kaitannya dengan tingkat pendidikan anak.
Pada tingkat SD belum tampak pengaruh perbedaan golongan sosial, apalagi kalau kewajiban belajar mengharuskan semua anakn memasukinya, akan tetapi pada tingkat Sekolah Menengah apalagi tingkat pendidikan lebih atas maka akan jelas terlihat perbadaan golongan. Perbedaan persentase anak-anak golongan yang berada atau berpangkat makin meningkat dengan bertambah tingginya taraf pendidikan dan usia pelajar. Perbedaan sumber pendapatan juga mempengaruhi harapan orang tua tentang pendidikan anaknya. Sudah selayaknya orang tua yang berada mengahrapkan agar anaknya kelak memasuki perguruan tinggi. Sebaliknya orang tua yang tidak mampu tidak akan mengharapkan pendidikan yang demikian tinggi. Cukuplah bila anak itu sendiri mempunyai kemauan keras untuk melepaskan diri dari pendirian lingkungan dan berusaha sendri denga segenap tenaga untuk melanjutka perguruan tinggi.
Faktor lain yang menghambat anak-anak golongan rendah memasuki perguruan tinggi ialah kurangnya perhatian pendidkan di kalangan orang tua. Banyak anak-anak golongan ini yang berhasrat utuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi akan tetapi dihalangi oleh ketiadaan biaya. Banyak pula anak-anak yang putus sekolahnya karena alasan finansial. Pendidikan memerlukan uang, tidak hanya untuk uang sekolah akan tetapi juga untuk pakaian, buku, transport, dll.


[1]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2010), h.199
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada),h.34
[3] Elly M. Setiadi, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : Kencana Prenada, 2011),h.401
[4] J. Dwi Narwoko, Sosiologi Teks Pengantar dan Penerapan, (Jakarta : Kencana Prenada Group,2004),h.152-154
[5] Prof. Dr. Nasution, MA, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2004),h.27
[6] Elly M. Setiadi, opcit,h.440
[7] ibid